Di jurnal sebelumnya kita membicarakan apa saja yang seharusnya penego lakukan sebelum pembukaan negosiasi. Strategi dan perencanaan yang efektif adalah pengawal yang paling krusial dalam mencapai tujuan negosiasi. Dengan seting perencanaan dan target yang efektif, sebagian besar penego mampu meraih tujuan mereka, dan tanpanya, maka pencapaian akan terjadi lebih daripada kesempatan ketimbang usaha dari penego itu sendiri. Maka pada jurnal kali ini kita akan mempelajari teori negosiasi yang terdiri dari teori permainan dan teori perilaku.
Awali dengan “Tidak”: bagaimana keputusan mengarahkan negosiasi
Dalam suatu negosiasi, keputusan merupakan 100 persen emosional. Riset psikologi telah mamastikannya. Dalam negosiasi dan, bahkan, dalam pembuatan keputusan keduanya diawali dengan emosi. Emosi bersifat “tidak terkendali”. Mereka berada dalam akar dari semua keputusan awal, tak terprediksi, bahkan seringkali bersifat destruktif, tetapi emosi bukanlah hasil final. Tugas seorang negosiatorlah untuk melihat mereka dengan jelas sebagai “apa sebenarnya emosi, bagaimana bekerja bersama emosi, dan bukannya melawan”, kemudian mengalahkannya dengan menciptakan keputusan yang berharga.
Dalam jurnal “Start with No” penulis sangat menyarankan kata “tidak” sebagai awal terbaik dalam menyatakan”ya” sebab pada realitanya, semua negosiasi memang benar-benar diawali dengan kata “tidak”, bukan kata “mungkin” apalagi “ya”. Mengapa demikian? Karena kata “tidak” merupakan keputusan yang nyata yang akan mempengaruhi pihak lain mengenai alasan apa yang menyebabkan kita mengatakan “tidak”. Responsibilitas dalam mengeluarkan keputusan yang jelas akan membantu lawan untuk fokus dalm masalah yang sesungguhnya dalam negosiasi. Lawan harus mengambil responsibilitas dari “tidak” maka kemudian mereka akan benar-benar memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Faktanya, rata-rata invitation bagi pihak lain yang berkata “tidak” akan berubah secara dinamis dalam sebuah negosiasi melalui jalan yang benefisial. Sementara itu jawaban alternatif, yaitu “mungkin” dan “ya”, sama sekali bukan keputusan yang sesungguhnya. Kata-kata itu tidak akan berbuat apapun dalam menghentikan ketidakjelasan dan juga aliran emosi. Mengapa pula demikian?
Jika seseorang mengatakan “mungkin” maka kedua pihak akan kesulitan untuk mendapatkan respon atau informasi dari pihak lain, karena kata “mungkin” menyiratkan sesuatu yang tidak pasti. Ketika lawanmu berkata “mungkin” maka emosimu akan tidak menentu. Apakah yang dimaksud oleh “mungkin” itu “kita hampir mencapai ya”? Atau hanya berusaha menjalankan trik terakhir untuk mencapai kesepakatan? Ataukah itu berarti “tidak, penawaran ini tidak akan mungkin”? Atau mungkin itu berarti bahwa sebenarnya pihak lawan sendiri bahkan tidak mengetahui apa yang ia inginkan? Kata “mungkin” benar-benar bukanlah sebuah keputusan. Penulis mendefinisikan “maybe” sebagai kiss of the death dari sebuah negosiasi sebab jika tidak mampu menghadapi “mungkin”, segera tinggalkan karena akan membuang-buang waktu (khususnya saat sedang bernegosiasi dengan orang Jepang yang terbiasa menggunakan kata “mungkin” untuk membuat lengah negosiator yang tak terlatih). Terkadang negosiator pihak lawan terlalu terkondisi oleh etos getting to yes yang mana ia akan memulai dengan “ya”. Namun kata “ya’ di awal negosiasi tidak ada bedanya dengan kata “mungkin”. Kata “ya” bagi pihak lawan tidak benar-benar berarti “ya” sebab pada dasarnya negosiasi diadakan karena adanya “no” dari salah satu pihak yang saling terdependensi. Yang lebih penting lagi, seringkali setiap lawan berkata “ya”, dengan mudah kita akan hilang kendali dan menunjukkan kelemahan kita. Kemudian tak lama kemudian lawan kita pasti akan memunculkan kata “jika/ tapi/ bagaimanapun/ saat/ kata-kata pengeculian berbahaya semacamnya” di belakang kata “ya” yang akan membuat kita kehilangan fokus dan menjadi rentan terhadap konsiliasi yang tidak menguntungkan. Pihak lawan akan dengan seketika mengambil kendali. Menawarkan “ya” yang terlalu dini tak pelak adalah trik macan yang berusaha menjebak kita ke dalam kandangnya.
Contoh klasiknya adalah ketiga sebuah perusahaan multinasional yang menjanjikan suatu proyek khusus dengan tiga perusahaan lain yang lebih kecil. Maka ketiga perusahaan tersebut akan saling bersaing mendapatkan proyek tersebut dengan menurunkan harga mereka terus menerus. Hingga suatu ketika ada suatu perusahaan (misalnya bernama Perusahaan Maju Mundur) yang mana berani berkata tidak dan keluar dari persaingan reduksi tersebut. Maka itu artinya Maju Mundur yang telah mengundang perusahaan multinasional untuk berkata “tidak” sebagai balasan “tidak”-nya. Sementara itu perusahaan multinasional itu akan mengalami sepasang isu. Ia beresiko kehilangan partner kerja mereka yang paling valuable (bisa saja itu Maju Mundur) dan terdapat resiko dua perusahaan sisanya mengetahui trik tersebut dan mengikuti langkah Maju Mundur untuk mundur dari negosiasi. Maka selanjutnya akan sangat mudah ditebak ketika perusahaan multinasional tersebut menemukan informasi mengenai Maju Mundur pada kata “tidak”. Dan pada akhirnya, tetap Maju Mundurlah sebagai pihak pertama yang mengatakan “tidak” yang akan mendapatkan proyek tersebut.
Itulah yang penulis sebut dengan the power of “no”. Namun apa yang akan terjadi jika perusahaan tersebut berkata lebih awal pada Maju Mundur, “Leluasalah dalam berkata tidak, jatuhkan kami pada titik tertentu”? Maka kedua belah pihak tidak akan lagi menerka-nerka satu sama lain. Masing-masing akan mengetahui bagaimana pihak lainnya memandang negosiasi tersebut hingga keduanya akan mengurus masalah-maslah yang sesungguhnya. Waktu, uang, dan sumber daya pun akan dapat diperhemat.
Penggunaan “mungkin” adalah budaya dari Jepang. Dalam suatu ketika seorang klien baru berbasis Anerika terjebak pada distribution deal yang menyebalkan dengan pihak Jepang the Giant. Mereka menghabiskan begitu banyak sumber daya demi negosiasi tersebut tanpa menghasilkan sesuatu yang berarti. Dan ketika banyak pemain lama negosiasi menyerah pada kondisi tersebut, delapan bulan kemudian dari pertama kali gagasan negosiasi ulang merebak, tim Amerika membawa sebuah bentuk persetujuan baru bahwa mereka akan langsung berkata “tidak” jika mereka rasa mereka harus melakukannya. Dan ketika diimplementasikan, undangan untuk berkata “tidak” telah mengkristal pada pihak Jepang dan mengalihkan perhatian mereka.
Gunakan “tidak” dalam setiap kesempatan dalam sebuah negosiasi. Jangan takut padanya. Jangan menganggapnya sebagai penolakan personal sebab kamu tidak dalam satu-satunya orang dalm kondisi yang “membutuhkan”. Ketika kau benar-benar mampu keluar dari ketakutanmu menyakiti orang lain, berhenti menyimpan perlawanan, maka kamu akan menjadi negosiator yang lebih baik dari sebelumnya. Ketika kamu memahami kejujuran dan kekuatan dari kata “tidak” maka kau akan mengambil jalan yang sangat jauh dari negosiasi berbasis emosional dan negosiasi berbasis keputusan. Dalam jangka panjang “tidak” merupakan jawaban yang paling aman. Karena tidak akan menjatuhkan hubungan bisnis dan justru membangunnya. Pada dasarnya win-win yang sesungguhnya adalah ketika mengatakan dan mengundang dan mendengar kata “tidak” Negosiasi yang efektif merupakan pembuatan keputusan yang efektif, datar, dan sederhana, dan fondasi pembuatan keputusan yang efektif tersebut merupakan sebuah misi yang valid dan juga tujuan yang mengarahkan negosiasi.
Analisis
Jika “mungkin” itu worthless dan “ya’ itu artinya bahaya, maka hanya tersisa “tidak” sebagai satu-satunya keputusan yang sesungguhnya. Seperti yang dikatakan penulis pada tulisannya yang berjudul “Start with No”, kata “tidak” akan membuat pihak lawan menyeberang kepada kita dalam kondisi rasional. Penjelasan akan terjadi kedua pihak akan memiliki masalah untuk diperbincangkan. Dengan demikian maka setiap orang akan mengetahui bagaimana pihak lawan memandang negosiasi dan bekerja dalam menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Waktu, uang, dan sumber daya akan dapat digunakan dengan lebih hemat. Itulah kunci ide dalam jurnal Start with “No”: “tidak” membawamu menyeberangi masalah emosional dan juga masalah yang tidak terlalu penting pada masalah yang esensial.
Sumber:
Watson, Adam. 1982. Diplomacy: The Dialogue Between States. London: Eye Methuen.
-----, Negotiating: Ch 3 Start with No & 4 Success Come from Foundation: develop your mission and purpose
No comments:
Post a Comment