Konflik internasional seringkali merupakan subjek dari mediasi pihak ketiga. Kita tidak mengetahui bagaimana mediasi pada umunya di awal sejarah (rekaman yang paling awal adalah kira-kira 3.500 tahun yang lalu), tapi itupun dipraktikan oleh Romeo dan Juliet dengan efek yang katastropik, dan telah terjadi setidaknya 400 tahunan. Kendati perang dingin telah membawa banyak perubahan dalam politik internasional, ia juga mengurangi insisden dari konflik internasional dan juga tendensitas dari pihak ketiga untuk memediasi konflik-konflik yang menyusahkan.
Konflik disini merupakan isu-isu politik-sekuriti. Tipikalnya, dalam ekonomi internasional atau perselisihan lingkungan, pihak rival tidak berkompetisi dengan paksaan. Konflik dalam pilitik-sekuriti terjadi dalam konteks politik kekuatan yang memiliki efek mayor dalam mediasi internasional. Premis ini menyediakan tiang konseptual dari analisis motif partisipan dalam mediasi, kodisi yang mempengaruhi performa dan peran dari mediator, dan kunci dari mediasi efektif dalam konflik internasional.
Konflik internasional merupakan keduanya dari konflik interstate dan domestic yang diciptakan oleh campur tangan pihak luar.
Mediasi merupakan suatu bentuk intervensi pihak ketiga dalam konflik. Namun berbeda dari bentuk intervensi pihak ketiga dengan penggunaan langsung alat pemaksa dan tidak bertujuan untuk menolong salah satu partisipan untuk menang. Melainkan bertujuan untuk membawa konflik pada suatu kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dan konsisten dengan kepentingan pihak ketiga tersebut.
Mediasi adalah sebuah proses politik tanpa adanya komitmen kelanjutan dari partai-partai untuk menerima ide mediator. Dalam poin ini, inilah perbedaannya dengan arbitrasi yang menggunakan prosedur yuridisial dan masalah yang sebelumnya sudh mereka sepakati. Untuk mencapai tujuannya, mediasi harus membuat penerimaan menjadi mungkin bagi para penasihat dalam konflik. Namun mediator seringkali menemui penolakan awal dari pihak-pihak yang berkonflik; maka usaha diplomasi awal haruslah mempersuasi pihak-pihak dengan nilai dari pelayanan mereka sebelum proses mediasi dimulai.
Negara-negara menggunakan mediasi sebagai instrument kebijakan luar negeri. Intervensi mereka sebagai mediator terlegitimasi oleh tujuan dari reduksi konflik yang secera tipikal mereka nyatakan. Hasrat untuk menciptakan perdamaian sebenarnya diikuti oleh motif lainnya dalam kontek politik kekuatan.
Mediasi negara seakan mencari bentuk dimana akan meningkatkan prospek stabilitas, menunda kesempatan rival untuk melakukan intervensi. Keduanya merupakan suatu bentuk tujuan defensive dan offensive yang dapat didapatkan melalui proses mediasi (Udalov 1995 da Zartman 1995). Mediator bertindak defensive ketika konflik kelanjutan antar partisipan mengancam kepentingan mediator. Self-interest kedua motif dalam melaksanakan mediasi adalah ofensif, harapan untuk memperpanjang dan meningkatkan influensi. Dalam kasus ini, solusi dari konflik tidak memiliki kepentingan secara langsung dbagi mediator dan ia tak lebih hanya kendaraan untuk mengembangkan relasi antarkedua belah pihak.
Lawan dalam setiap konflik menghadapi dua pertanyaan apakah ia akan menerima mediasi dan jika iya, maka bagaimana agar mediasi dapat diterima (Maundi dkk 2006). Pihak-pihak menerima intervensi karena mereka, sebagaimana para mediator, berharap mediasi akan bekerja sesuai dengan kepentingan mereka.
Ketika mediator termotivasi oleh kepentingan diri sendiri, mereka tidak akan lagi megintervensi secara otomatis, tapi hanya saat mereka percaya bahwa sebuah konflik mengancam kepentingan mereka atau ketika mereka menemuka sebuah kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan kepentingan mereka.
Mediator menggunakan tiga model untuk mengatur kepentingan semua pihak yang berada dalam konflik, yakni: komunikasi, formulasi dan manipulasi. Ketika mediasi terjadi tanpa adanya keinginan satu atau bahkan kedua belah pihak untuk menang dari lainnya, mediator dapat menempatkan dirinya sebagai komunikator untuk menjembati kepentingan msing-masing pihak. Namun ketika terjadi perselisihan antarpihak yang mengikuti mediasi, mediator diharapkan mengambil pilihan kedua sebagai formulator untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi. Sementara pilihan ketiga hanya akan diambil ketika pihak-pihak tersebut saling berselisih dalam taraf yang ekstrem. Mediator sebagai mediator akan menggunakan segala cara agar terbentuknya suatu persetujuan dengan paksaan dan tekanan.
Analisis
Banyak kepentingan dan sedikit kontrol merupakan kompleksitas dalam pihak ketiga dalam sebuah mediasi, jauh dari yang kita bayangkan. Pihak penasihat dan mediator potensial masing-masing memiliki perhitungan kepetingan yang jauh lebih mempengaruhi daripada persetujuan sederhana dari perselisihan. Perhitungan mereka meliputi hubungan antarpihak yang berkonflik dan pihak ketiga dan biaya dan keuntungan dari kedua konflik dan konsiliasi. Kekuatan berasal dari kepentingan itu sendiri dan kemampuan pihak ketiga untuk bermain persepsi kebutuhan, diatas segala kebutuhan untuk sebuah solusi.
Mediasi bertindak sebagai katalis negosiasi. Ia memfasilitasi persetujuan pertikaian yang seharusnya dapat terselesaikan oleh mereka sendiri, jika merasa konflik mereka sebagai hal yang penting. Mediasi menjadi penting ketika konflik dua kali lebih dominan: merupakan penyedia elemen pertikaian dan mencegah pihak-pihak dari mencari dan menemukan jalan keluar. Kendatipun berhasil, mediasi hanya akan memotong beberapa layer, menyediakan alat bagi semua pihak untuk hidup bersama kendati saling berselisih, namun tidak menyediakan rekonsiliasi yang mendalam atau membatalkan penyebab-penyebab konflik
Sumber:
Watson, Adam. 1982. Diplomacy: The Dialogue Between States. London: Eye Methuen.
Zartman, I. William. 2008. Negotiation and Coflict Management: Essays on theory and practice. New York: Routledge
No comments:
Post a Comment