Friday, June 10, 2011

AFTA dan MERCOSUR dalam globalisasi ekonomi


Tugas Rezim, 8-6-2009: review artikel ‘AFTA and MERCOSUR at the Crossroads: Security, Managed Trade, and globalization
gambar diambil dari sini

K
awasan Perdagangan Bebas ASEAN ( ASEAN Free Trade Area, AFTA) adalah sebuah persetujuan oleh ASEAN mengenai sektor produksi lokal di seluruh negara ASEAN. Ketika persetujuan AFTA ditandatangani resmi, ASEAN memiliki enam anggota, yaitu, Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Vietnam bergabung pada 1995, Laos dan Myanmar pada 1997 dan Kamboja pada 1999. AFTA sekarang terdiri dari sepuluh negara ASEAN. Keempat pendatang baru tersebut dibutuhkan untuk menandatangani persetujuan AFTA untuk bergabung ke dalam ASEAN, namun diberi kelonggaran waktu untuk memenuhi kewajiban penurunan tarif AFTA. Tujuan dari dibentuknya AFTA adalah meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam pasar dunia melalui penghapusan bea dan halangan non-bea dalam ASEAN, serta menarik investasi asing langsung ke ASEAN. Mekanisme utama untuk mencapai tujuan di atas adalah skema "Common Effective Preferential Tariff" (CEPT). Anggota ASEAN memiliki pilihan untuk mengadakan pengecualian produk dalam CEPT dalam tiga kasus: pengecualian sementara, produk pertanian sensitif, pengecualian umum (Sekretariat ASEAN, 2004). Sementara, Mercosur adalah sebuah organisasi yang terdiri dari negara-negara Amerika Selatan. Organisasi ini didirikan pada 1985 oleh 5 negara. Piagamnya menyatakan bahwa Mercosur (Common Market of the South) bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan. Markas Mercosur berada di Montevideo. Anggotanya adalah Brasil, Argentina, Paraguay, Uruguay, dan Venezuela.
            Kemanan adalah isu formatif beberapa kerjasama regional, seperti EU, ASEAN, dan MERCOSUR, juga dalam penyatuan pasar regional. Permasalahan dari small free trade aranggement seperti ASEAN (hanya 6.5 persen dari world trade di tahun 2000) dan MERCOSUR (hanya 1 persen) di tahun-tahun terakhir, tidak mampu memperluas perdagangan intra-regional kendati telah melayani dengan baik segala tujuan politik.
Di rentang tahun 50-60an, Indonesia, Malaysia,Filipina, dan Singapura mengalami pemberontakan komunis yang sebagian besar didanai oleh People’s of Republic China (PRC) dan dipimpin oleh local chinese. Beragam usaha dilakukan oleh masing-masing negara untuk menumpas pemberontakan tersebut. Namun akhir dari Cold War di Eropa menolong dalam menurunkan ketegangan di Asia dan membawa pada hubungan emergency antara China dan ASEAN – yang dianggap sebagai langkah rekonsiliasi dan inkooperasi negara tetangga komunis-sosialis. Kekuatan MERCOSUR Amerika Latin dan AFTA terletak pada GDP (gross domestic product) mereka yang menempati urutan ketiga dan keempat terbesar ekonomi regional dalam ukuran dunia. Namun ASEAN hanya memiliki kemampuan dalam menghindar ketimbang menyelesaikan konflik.
Setelah kejadian 11 September 2001, ke-kolaps-an Argentine neoliberal economy hampir menghancurkan MECOSUR akibat adanya global campaigne melawan Al-Qaeda dan Thaliban yang disponsori oleh terorisme di Pakistan-Afghanistan, Timur tengah, dan kini mulai merambah Asia Tenggara. Pengeboman di Bali, Indonesia, 12 Oktober 2002 telah mengekspos negara-negara ASEAN tampak sebagai home-grown Islam Radikalisme. Tak satupun yang ingin melihat adanya kondolidasi hegemoni regional oleh satu kekuatan yang mengambil seluruh keuntungan dari situasi 11 September. China mencari cara agar AS keluar dari Pasifik; Jepang melakukan investasi besar-besaran tanpa harus diganggu oleh China, dan AS menolak untuk membatasi diri dengan Asia Pasifik. Sejak 11 September AS memandang Asia Tenggara sebagai partner baik dalam melawan terorisme dan terutama berperan penting dalam memainkan Washington’s global security strategy.

Kesimpulannya adalah bahwa baik ASEAN maupun MERCOSUR keduanya merupakan pemain yang baik dalam permainan globalisasi dan merupakan pengeruk keuntungan banyak. Sebab MERCOSUR dan ASEAN yang menempati urutan ketiga dan keempat terbesar ekonomi regional dalam ukuran dunia.  Sebuah pola yang menarik : bahwa negara-negara neoliberal telah tertanam dalam negara neomerkantilis sebagai mantan saingan dan keuntungan komparatif dalam perdagangan di kemudian hari.  Dalam MERCOSUR, ketidakstabilan politik dan kekacauan ekonomi Argentina dan meningkanya permintaan pemerataan kesejahteraan dan perbaikan social justice di Brazil mengalihkan energi dari konsolidasi selanjutnya dari pasar regional. Siapapun yang menjadi pemenang di April 2003 dalam pemilihan presiden di Argentina akan menghadapi Herculean task dalam memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan menumbuhkan kepercayaan para investor. Di Asia Tenggara, isu keamanan akan menempati kursi pertama apalagi setelah kejadian11 September mengenai terorisme, terutama Islam militan radikal.

Menurut pendapat saya, sebenarnya kerentanan dan kepelikkan dalam menjaga keharmonisan ASEAN telah muncul sejak sebelum kejadian 11 September, Lee hsien Loong, wakil perdana menteri dan ketua Monetary Authority of Singapore dalam pidato yang ia berikan di Bank of Thailand, Bangkok, 30 November 2000 (www.bis.org) menyatakan, “... continuing political and economic difficulties in South East Asia, plus the perceived weakness of ASEAN... are strongly colouring views of analysts and inventors” . Dan menurut saya hal ini karena kemampuan ASEAN yang hanya sebatas penghindaran konflik, bukan penyelesaian konflik. Hal ini dapat ditilik dari persamaan NAFTA dan ASEAN. Ketika NAFTA berhasil menolong Meksiko bagkit dari kejatuhan peso di tahun 1994-1995, ASEAN gagal melakukan hal serupa bagi Indonesia, Thailand, dan Malaysia dalam krisis yang terjadi di tahun 1997-1998.


No comments:

Post a Comment