Thursday, June 9, 2011

SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER PPKN UNIVERSITAS AIRLANGGA


UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)
KELAS A FISIP UA
NOP-101 Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN)
27 Oktober 2008


METODA PENDIDIKAN IDEOLOGI BAGI MAHASISWA AGAR MENJADI FASILITATOR PEMBANGUNAN KARAKTER DAN JATI DIRI BANGSA YANG TANGGUH

PENDAHULUAN   
Adalah sangat relevan dengan semangat otonomi daerah dan otonomi kampus ketika dalam rangka memperingati Dies Natalis Universitas Airlangga (UA) ke 53 pada awal Desember 2007 lalu, sebagai salah satu acara penutupan,  panitia menyelenggarakan pagelaran wayang kulit untuk masyarakat. Seni budaya wayang khususnya wayang kulit (dulu) populer di masyarakat Jawa (Timur) di mana UA berada adalah merupakan “tontonan yang berfungsi tuntunan” bagi masyarakat. Yang mana seni budaya tersebut  sekarang – bersamaan dengan nasib seni budaya daerah-daerah lain di Indonesia – mulai tersingkir di hati generasi muda karena menghadapi penetrasi kebudayaan asing akibat proses pembangunan dan globalisasi.
Keberadaan Matakuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) PT kiranya perlu sedikit pembahasan karena merupakan implementasi kebijakan matakuliah yang dikelompokkan dengan matakuliah lain berdasarkan peraturan perundangan nasional di PT. Matakuliah  PPKn PT merupakan perubahan nama dari matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang bersama-sama dengan matakuliah Pendidikan Agama dan Bahasa baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris merupakan matakuliah wajib nasional di perguruan tinggi (PT) untuk jenjang D3 dan S1 (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 37 ayat 2 dan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 9 ayat 2 dan 3) dan di PT dimasukkan ke dalam kelompok Mata Kuliah Wajib Universitas (MKWU). 
Saat ini bangsa dan negara Indonesia sedang menghadapi krisis moral dan ideologi nasional di segala bidang maka pendidikan yang terkait dengan usaha mengatasi masalah tersebut khususnya bagi mahasiswa perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Tulisan ini ingin memberi pemikiran bagaimana kurikulum wajib nasional yang terkait dengan pengembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat bagi mahasiswa diimplementasikan secara efektif dan efisien sesuai dengan kompetensi PT sekaligus  mencari jawaban yang benar tentang dasar PT melakukan perubahan nama atas mata kuliah tersebut dan bagaimana hubungannya dengan matakuliah-matakuliah MKWU lainnya.

SINERGI ANTARA KAMPUS DAN LINGKUNGAN
Harus disadari bahwa di satu pihak mahasiswa sebagai generasi muda harapan bangsa masih dalam umur pertumbuhan. Usia yang masih perlu kondisi dan situasi sosial dan tempat tinggal yang kondusif terhadap perkembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat sekaligus menjadi tempat belajar dan istirahat yang representative bagi mereka. Di pihak lain masyarakat juga perlu tidak hanya sekedar hidup berdampingan namun perlu mendapat pendampingan yang bermakna dari masyarakat PT dalam menghadapi  proses perubahan yang semakin kompleks.
Tugas PTN di negara sedang berkembang seperti Indonesia yang  dibangun pemerintah dengan tujuan selain sebagai lembaga pendidikan juga untuk menjadi agen pembangunan (agent of development). PTN perlu menyusun srategi bagaimana mensinergikan kampus dan lingkungannya. 
Pertama, bagaimana mahasiswa mandapat lingkungan pemukiman yang mampu mencapai kondisi kesehatan yang prima, prestasi belajar yang tinggi dan perkembangan moralitas agama yang kuat (exelent with morality) serta terbangun jatidiri bangsa Indonesia dalam kerangka pengembangan kepribadian dan kerkehidupan baermasyrakat sebagai generasi muda penerus bangsa Indonesia.
Kedua, bagaimana keberadaan kampus dan mahasiswa juga kondusif terhadap pembangunan dan perkembangan masyarakat (community development). Paling tidak hasil sentuhan dan pendampingan dari PT yang berwibawa dan prestisius seperti halnya UA melalui mahasiswanya, sesuai dengan kompentensi yang dimiliki, membantu masyarakat agar mampu memecahkan masalah akibat perubahan yang dihadapi. Masalah baik dengan lingkungan fisiknya maupun nilai budaya yang mengancam kesehatan, keamanan dan  lingkungan serta juga merusak persatuan, kesatuan dan kerukunan dengan membangun kesadaran dan kebersamaan masyarakat dengan mengimplementasikan kearifan local dalam kerangka NKRI.
Oleh sebab itu PT dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menyusun kurikulum dalam rangka mempersiapkan dan memfasilitasi mahasiswa mengembangkan diri agar menjadi anggota masyarakat kampus sekaligus  menjadi bagian dari masyarakat bangsa. Memfasilitasi mahasiswa baik untuk keperluan akademik (academic purpose) maupun non akademik (non-academic purpose) agar lebih siap melaksanakan tugasnya dalam menuntut ilmu, menjadi mahasiswa yang rajin, jujur dan bertaqwa serta berahklak mulia dan kemudian menjadi lulusan dengan standard yang telah diproyeksikan universitas.
Kemudian tidak kalah pentingnya adalah memfasiltasi mahasiswa melatih diri menjadi manusia Indonesia yang tidak eksklusif hanya sibuk memikirkan diri sendiri namun juga menjadi generasi muda yang mempunyai jatidiri yang sadar akan masalah bangsanya. Yaitu dengan memfasilitasi keterlibatan mereka secara intensif dan partisipatif dalam kehidupan masyarakat di mana mereka tinggal sebagai arena melatih diri atau praktikum mengembangkan kepribadian dan hidup bermasyarakat dengan jatidiri bangsa Indonesia.
Dengan kondisi dan situasi bangsa dan negara saat ini dan sebagai usaha mengimplementasikan apa yang digagas oleh rektor di depan, dengan dasar konsep Jatidiri yang disosialisasi pada PKMB kiranya perlu kurikulum komprehensif dari PT dalam mempersiapkan landasan intelektual, mental dan moral-spiritual mahasiswa untuk menjadi lulusan yang paripurna. Yaitu menjadi produk selain dengan ilmu pengetahuan dan profesionalisme juga dengan kepribadian dan kemampuan hidup bermasyarakat yang memenuhi kebutuhan baik ke dalam almamaternya maupun terhadap lingkungan sekitar dan juga terhadap lingkungan masyarakat lebih luas bangsa dan negara serta umat manusia sebagai proses implementasi  empat pilar pendidikan abad 21 yang disebut UNESCO: learn to know, learn to do, learn to be dan learn to live together.
CORPORATE SOCIAL RESPONCIBILITY (CSR) DAN SOFT SKILL SEBAGAI SOFT POWER
Untuk keperluan mempersiapkan mahasiswa yang terkait dengan lingkungan masyarakat paling tidak ada dua program di mana kegiatan-kegiatan memfasilitasi mahasiswa dapat diintegrasikan. Dua program yang kuat bergaung pada tahun-tahun terakhir yang harus menjadi prioritas PT-PT BHMN lainnya untuk diimplementasikan yaitu pertama, Corporate Social Responcibility (CSR) sebagai tuntutan filantropi terhadap dunia usaha pada masyarakat di sekitarnya, kedua, pendidikan soft skill kepada PT bagi lulusan.
Pertama, CSR adalah suatu tuntutan imperatif kepada lembaga swasta dan BUMN dan tentunya juga terhadap lembaga semi BUMN di bidang pendidikan untuk tidak hanya menjadi “menara gading” namun juga ikut peduli pada lingkungan masyarakatnya.
 Kedua, pendidikan soft skill bagi lulusan dalam rangka memenuhi tuntutan dari pengguna. Tuntutan soft skill adalah agar PT memasukkan ke dalam kurikulumnya mata ajar - mata ajar yang menjadikan lulusan mampu menguasai etika perilaku dan ketrampilan-ketrampilan penunjang agar mampu cepat beradaptasi dan berkreasi serta fungsional secara kultural, sosial maupun teknikal baik di dunia kerja maupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang sedang menghadapi berbagai masalah.
Implementasi kedua program tersebut yaitu CSR dan Soft Skill ke dalam ketiga kegiatan tri dharma tentunya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Oleh sebab itu PT perlu memikirkan suatu wadah bagi dosen-dosen pengampu matakuliah-matakuliah pengembangan kepribadian (MPK) dan berkehidupan bermasyarakat (MBB) untuk melakukan koordinasi agar di dalam memfasilitasi mahasiswa lebih tertata dan terencana dan mencapai hasil yang maksimal. Yaitu wadah para dosen untuk dapat mengkoordinasikan dan mengitegrasikan ketiga bidang tri dharma dengan semangat inter-disipliner dan problem based learning (PBL) sesuai dengan kondisi dan situasi bangsa. (Proposal Pembentukan Komisi Karakter dan Jatidiri).
Kegiatan fasilitasi paling tidak dalam dua hal yang dapat disebut sebagai bidang kompetensi dasar baik dalam academic exercise maupun dalam fisical and social inveronment awareness exercise. Kedua jenis persiapan tersebut harus dirancang secara seksama dan terpadu agar satu sama lain dapat menjadi fondasi yang kokoh dari bangunan “Menara Kembar” Social Sciences dan Medical Sciences sebagai identitas dan eksistensi jatidiri bangsa Indonesia.
Pertama, menyiapkan fasilitas academic exercise yang baik melalui kurikulum dan kegiatan praktikum yang memberi kemampuan dasar akademik dengan basic science sebagai pengetahuan dasar dalam rangka penguasaan hard skill ilmu pengetahunan masing-masing program studi agar menjadi lulusan yang handal di bidang atau jurusan keilmuan masing-masing.
Kedua, memfasilitasi dengan kurikulum dan kegiatan ”praktikum” yang memberi kemampuan dasar bidang non akademik yang terdiri dari dua kegiatan yaitu pertama, yang terkait dengan mata ajar pengembangan kepribadian (MPK) dan berkehidupan bermasyarakat (MBB) serta mata ajar soft skill. Yaitu memfasilitasi kemampuan dasar bidang non akademik mahasiswa baik dalam rangka menjadi warga PT maupun menjadi warga negara Indonesia sebagai alumni dengan predikat excelent with morality. Kedua, tak lain adalah fasilitas fisik tempat bermukim mahasiswa yang representative (sebelum ada asrama yang representatif).

SOFT SKILL SEBAGAI KEPRIBADIAN PT
 Salah satu mata ajar yang perlu mendapat perhatian adalah Pendidikan Pancasila yang sejak berlakunya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas sudah tidak diwajibkan lagi untuk diajarkan di sekolah-sekolah dan PT  dan materinya diintegrasikan ke dalam mata ajar Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan bagaimana bangsa Indonesia seharusnya berfikir dan berperilaku sebagai suatu bangsa baik ke dalam maupun dalam berhadapan dan bergaul dengan bangsa-bangsa lain di  seluruh dunia. Yaitu pendidikan ideologi nasional sehingga dunia pendidikan khususnya PT mampu mencetak IPTEK dan SDM atau lulusan yang berparadigma Pancasila.
Kebijakan nasional tersebut hingga sekarang masih menimbulkan keresahan di dunia pendidikan di seluruh Indonesia. Termasuk dalam hal ini PTN di Jawa Timur telah membentuk suatu paguyuban yang disebut Public University Link System of East Java (PULSE) yang dipandegani oleh UA untuk bersama-sama mencari cara bagaimana Pendidikan Pancasila tetap ada di kurikulum PT. Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas mengenai Pendidikan Pancasila ditakutkan merupakan bagian dari kondisi masyarakat Indonesia yang sedang dilanda euphoria reformasi. Karena, seperti telah disinggung, bangsa Indonesia sedang mengalami perubahan nilai akibat dilanda banjir nilai-nilai negatif dari luar. Kondisi yang dapat  menyebabkan bangsa Indonesia menderita penyakit budaya (patologi budaya) atau gegar budaya (cultutral shock) yang mengakibatkan lunturnya identitas dan kepribadian bangsa akibat “demonstration effect” dari budaya bangsa lain termasuk di dalam usaha membudayakan demokrasi untuk menjadi masyarakat modern di mana salah satu hasilnya adalah UU Sisdiknas tersebut.
Karena demokrasi sebagai sendi utama peradaban modern di mana rasionalitas dan kolektivitas dibangun untuk menuju pencapaian kesejahteraan umat manusia setinggi mungkin. Namun justru kehidupan demokrasi bangsa Indonesia saat ini masih belum menemukan format yang pas bahkan masih terus dipersimpangan jalan yang membawa kehidupan bangsa Indonesia kehilangan jatidirinya.
Masyarakat, bangsa, dan bahkan rakyat Indonesia sebenarnya masih memiliki kekuatan yang dapat menangkal ketidak harmonisan diantara sesama warga negara, jika mereka punya kesadaran penuh terhadap “budaya Pancasila”. Selama ini, bangsa Indonesia gagal membangun kesadaran budaya Pancasila. Bisa jadi, kegagalan itu dipicu hadirnya demokrasi yang “disalah artikan” dan mampu membius masyarakat kita mengarah pada kehidupan yang bebas sebebas-bebasnya.
Selama bangsa Indonesia tidak memiliki kesadaran untuk berperilaku sopan-santun, menjunjung tinggi persatuan/kesatuan, bersatu, bahu membahu dan gotong-royong, maka selama ini pula bangsa Indonesia akan bersikap ragu, tidak konsisten, tidak koheren, … mementingkan kepentingan sendiri daripada kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara (Suprijadi, 2004: iii-iv)

Dengan diterbitkannya SK Dirjen Dikti No. 43/ DIKTI/ Kep/ 2006 dan SK Dirjen Dikti No. 44/ DIKTI/ Kep/ 2006 sebagai rambu-rambu penyelenggaraan matakuliah wajib yaitu Matakuliah Pendidikan Kepribadian (MPK) dan Matakuliah Berkehidupan Bermasyrakat (MBB) tentunya matakuliah Pendidikan Pancasila bukan lagi termasuk kelompok MPK.
Dengan demikian dengan memanfaatkan interaksi kampus dan masyarakat sekitar kampus kiranya matakuliah-matakuliah MPK dan MBB yang telah ditempuh mahasiswa yang juga telah dibekali dengan konsep jatidiri pada PKMB, kiranya tinggal selangkah lagi untuk mewujudkan konsep operasional Pancasila dari Prof. Bambang Rahino di muka yaitu sikap dan perilaku Kekeluargaan dan Kegotong-royongan ke dalam perilaku masyarakat UA pada khususnya dan Indonesia pada umumnya sebagai semangat kebersamaan sebagai suatu bangsa melawan kekuatan angkara murka yang telah merajalela di masyarakat Indonesia dengan menyusun rancangan Pendidikan Pancasila dalam format Soft Skill.
Bidang pendidikan merupakan bidang strategis dalam pengembangan kemampuan setiap bangsa memecahkan masalah mereka. Dengan kemajuan di bidang pendidikan  suatu bangsa akan mampu lebih sistematis dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi baik aspek domestik maupun internasional. Semakin tinggi tingkat pendidikan rata-rata suatu bangsa akan semakin tinggi pula kemampuan memecahkan masalah yang mereka hadapi.

PENUTUP
Pendidikan usia dini merupakan era yang krusial bagi generasi penerus setiap bangsa sebelum memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut hingga ke pendidikan tinggi (PT) sebagai jenjang paling tinggi pada pendidikan formal dalam proses menghasilkan dan meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sumber daya manusia (SDM) yang ber-iman dan ber-taqwa (IMTAQ) sekaligus mempunyai nasionalisme dan patriotisme yang tinggi (Susilo, 2007).
Melalui sistem pendidikan dapat dihasilkan secara sistematis IPTEK serta SDM yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional apalagi pada era globalisasi saat ini. Yaitu memecahkan masalah yang dihadapi bangsa baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional membangun format kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang efektif, efisien dan kompetitif di tingat internasional yang didasari dan dijiwai oleh jatidiri yang tangguh secara mental, SDM dan SDA sebagai elemen kekuatan suatu bangsa. Karena di era globalisasi problem ke depan bangsa Indonesia adalah harus mampu menciptakan daya saing untuk tidak hanya menjadi obyek namun juga menjadi subyek dalam persaingan internasional.
Menurut Morgenthau (1978) ada dua jenis elemen kekuatan nasional pada setiap negara bangsa - untuk selanjutnya dapat disebut negara atau bangsa saja. Jenis pertama bersifat konkrit dapat diraba (tangible elements of national power) dan jenis kedua bersifat abstrak tak dapat diraba (intangible elements of national power) yaitu yang terkait dengan karakter nasional, moral nasional, ideologi nasional dan erat hubungannya dengan nilai budaya masing-masing bangsa (Morgenthau, 1978: 150).
Dari semua jenis elemen yang ada SDM mempunyai posisi sentral.  SDM yang sehat dan terdidik dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) akan memberi nilai tambah bagi elemen-elemen kekuatan nasional lainnya dan tidak kalah pentingnya SDM sebagai rakyat atau penduduk suatu negara apabila mampu hidup secara efektif, efisien, kompak dan bersatu akan membawa negara tersebut disegani dalam pergaulan antar bangsa dalam mengejar kepentingan nasionalnya dan hal tersebut sangat tergantung pada elemen kekuatan nasional jenis kedua.
Nilai budaya yang positif dapat menjadikan karakter nasional, moral nasional, ideologi nasional, kualitas pemerintahan dan kualitas diplomasi negara bangsa mampu mendapatkan keunggulan, nilai tambah dan keuntungan dalam persaingan internasional. Nilai budaya sebagai sumber moral atau etika politik sekaligus jatidiri bangsa dan apabila cocok  (compatible) dengan dan memberi nilai tambah terhadap elemen-elemen kekuatan nasional maka akan menjadi modal positif bagi setiap bangsa dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi baik domestik maupun sebagai aktor dalam hubungan internasional seperti bangsa Jepang yang terkenal dengan karakter, moral dan ideologi sebagai bangsa yang kuat  yang banyak menjadi rujukan para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia. Itu semua tentunya tidak lepas dari kondisi Pendidikan Pancasila sebagai dasar filsafat, sisten dan ideologi bngsa Indonesia akhir-akhir ini yang tidak mendapatkan perhatian mencukupi dari sistem pendidikan nasional.
Pancasila adalah ideologi berbangsa dan bernegara Indonesia dilahirkan dalam forum (BPUPKI) dengan anggota terdiri dari kaum pejuang kemerdekaan dan cerdik pandai bangsa yang sebagian besar berpendidikan modern oleh sebab itu dapat dikatakan merupakan produk ilmiah. Pancasila harus diimplementasikan melalui proses pendidikan yang memberdayakan warganegara dengan metode partisipatif dan konsep operasional kebersamaan hidup (social capital) sebagai bangsa sangat jelas dirumuskan oleh penggali utamanya yaitu Ir. Sukarno dengan nama konsep Gotong–royong.
Sebagai sistem nilai yang diformulasi secara ilmiah sebagai dasar perilaku warganegara dalam berbangsa dan bernegara, Pancasila perlu pengkajian  dan penalaran secara terus menerus agar selalu kontekstual mengikuti perkembangan jaman. Oleh sebab itu akan menjadi sempurna apabila menjadi kegiatan tridharma PT sebagai bidang kajian penelitian, pengajaran dan pengabdian pada masyarakat dan Universitas Airlangga memang mempunyai kewajiban moral untuk itu. Oleh sebab itu dari sosialisasi struktur dan fungsi LPPM UA yang lalu, diusulkan untuk dibentuk satu komisi di LPPKM sebagai wadah Peer Group tri dharma Pancasila. Dengan terbangunnya masyarakat gotong-royong melalui keterlibatan PT dapat diharapkan menjadi modal sosial bagi bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan sekaligus menghadapi tantangan globalisasi.
Sedangkan format dan sistem pendidikan dan evaluasi yang bagaimana yang sebaiknya diterapkan untuk warganegara baik di dunia pendidikan maupun di masyarakat agar perilaku gotong royong dapat mendarah daging dalam kepribadian warganegara  Indonesia. Yaitu pendidikan yang bersifat memberdayakan dengan menumbuhkan saling percaya dan empati sebagai basis kebudayaan yang memungkinkan terbangunnya kerukunan dan dialog sosial di antara warganegara sebagai proses pendidikan partisipatif dengan sistem evaluasi kualitatif triangulatif.
Untuk menumbuhkan saling percaya dan menemukan rasa empati di antara warganegara Indonesia adalah membangun keterbukaan (openess) satu sama lain melalui forum dialog dan kosultasi atau musyawarah dengan pendekatan pembangunan masyarakat (community development - comdev.). Musyawarah dalam pola kebersamaan dan keterbukaan yang diselenggarakan secara terstruktur dan dapat diawali dari masyarakat pendidikan sebagai salah satu stakeholder utama bangsa dan negara untuk mempelopori mengembangkan konsep kebersamaan gotong royong di antara warganegara Indonesia sebagai soft skill.



Nama              : Devania Anesya
NIM                : 070810535/ HI 2008

No comments:

Post a Comment