Friday, June 10, 2011

PERMINTAAN ATAS REZIM INTERNASIONAL


gambar diambil dari sini

PENDAHULUAN

Rezim internasional berkembang pesat sejak perang dunia kedua. Sampai saat ini pun rezim sudah meliputi hampir seluruh aspek hubungan internasional yang membutuhkan koordinasi antar state, mulai dari isu pertahanan (misalnya pembatasan pengembangan senjata atau pertahanan kolektif), perdagangan, keuangan dan investasi, informasi dan komunikasi, hak asasi manusia, dan lingkungan; merupakan contoh dari sekian banyak urusan dalam sebuah rezim internasional.
Stephen Haggard dan Beth A. Simmons (1987) mengatakan bahwa rezim internasional muncul sebagai fokus penting dari riset empiris dan debat teoritis di dalam hubungan internasional[1]. Perbedaaan signifikan antara kompetitif, zero-sum-anarchy dari hubungan antarnegara dan “kewenangan” dari politik domestik terlihat terlalu banyak mengambil penjelasan dari perilaku diantara negara industri maju. Padahal dilemma kebijakan diciptakan dari tumbuhnya rasa saling ketergantungan sejak perang dunia yang menghasilkan sebuah bentuk koordinasi dan organisasi baru yang sama sekali tidak sesuai dengan kerangka berpikir realis–yang menganggap kerjasama antarnegara tidak mungkin akan terjadi. Permintaan rezim timbul karena adanya ketidakpuasan dengan konsep dominan dari tata aturan internasional, kewenangan, dan organisasi.
Definisi rezim dapat pula dikutip dari Donald Puchala dan Raymond Hopkins yang berargumen bahwa sebuah rezim ada di dalam setiap issue area hubungan internasional dimana terdapat keteraturan perilaku, seperti prinsip-prinsip, norma-norma atau aturan-aturan harus ada untuk dipertanggungjawabkan. Seperti yang dikutip di bawah ini:
a regime exists in every substantive isue-area in international relations… Wherever there is regularity in behavior, some kinds of principles, norms or rules must exist to account for it. (Puchala, 1982: 356)
Definisi luas akan beresiko mencampuradukan pola perilaku teratur dengan aturan, dan hampir  pasti terlalu jauh memprediksikan level kesepakatan normative dalam politik internasional. Mengurangi rezim dari pola perilaku akan membuatnya sulit untuk memutuskan bagaimana mereka bermediasik, berlawanan, atau mempengaruhi perilaku. Kata “rezim” seringkali digunakan sebagai cara paling murni menggambarkan kelompok dari rangkaian perilaku-perilaku negara di dalam isu-isu tertentu, tetapi pendekatan ini sudah banyak ditinggalkan.
Pertama-tama akan diuraikan mengenai pengertian rezim internasional menurut beberapa ahli beserta pendekatan-pendekatan teoritisnya. Kedua, pengaruh hegemoni dalam tumbuh dan berkembangnya sebuah rezim. Keempat, akan dijelaskan kondisi-kondisi (demand) dimana rezim menjadi sangat signifikan meski hegemon penyuplai mereka telah mengalami decline.

PENGERTIAN REZIM INTERNASIONAL MENURUT BEBERAPA AHLI


Menurut Stephen D. Krasner, rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan–baik bersifat eksplisit maupun implisit–yang berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor itu sendiri dalam hubungan Internasional[2].
Robert Jervis menyatakan rezim tidak hanya mempunyai implikasi terhadap norma-norma yang memfasilitasi terciptanya kerjasama semata, melainkan suatu bentuk kerjasama yang juga lebih dari sekedar kepentingan internal dalam jangka pendek[3].
Oran R. Young berpendapat bahwa rezim internasional adalah seperangkat aturan, prosedur pembuatan keputusan, dan atau program yang membutuhkan praktek sosial, menetapkan peranan bagi partisipan dalam praktek tersebut dan kemudian mengelola interaksi-interaksi mereka. Raymond Hopkins dan Donald Puchala juga sependapat dengan Young bahwasanya tidak ada yang dapat membuat sebuah negara dapat bertahan selama waktu tertentu jika tidak didukung oleh keberadaan sebuah rezim. Artinya, rezim secara mutlak diperlukan[4].
Sedangkan rezim menurut Robert O. Keohane merupakan suatu perangkat peraturan pemerintah yang meliputi jaringan-jaringan peraturan, norma-norma dan cara-cara yang mengatur serta mengawasi dampaknya. “Norma” dalam konteks tersebut adalah nilai-nilai yang didalamnya terkandung fakta tepercaya, penyebab dan rectitude (keadilan/ kejujuran). Sedangkan yang dimaksud dengan “nilai-nilai” adalah perilaku standar yang terbentuk karena adanya kewajiban dan keharusan. “Peraturan” sendiri mengandung anjuran untuk bertindak secara spesifik yang sifatnya membatasi. Sedangkan decision-making procedure (prosedur membuat keputusan) merupakan praktek berlaku untuk membuat dan mengimplementasikan pilihan kelompok[5].
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengertian rezim secara kontekstual merupakan gabungan dari keempat nilai-nilai dasar tersebut di atas yang secara keseluruhan memfasilitasi lahir dan bertahannya sebuah rezim.
Sementara itu Strange (1982) membantah, ia menekankan bahwa rezim merupakan miskonsepsi di mana sebenarnya tidak ada kepentingan bagi norma-norma, prinsip, peraturan-peraturan dan decision-making procedures[6]. Strange berpendapat rezim masih cenderung bersifat state-centic, artinya rezim internasioal sesungguhnya tak lebih dari sebuah bentuk multilateralisme antar negara semata. Teori rezim dianggap masih terlalu bernuansa realist dan menjadi kurang relevan dalam studi hubungan internasional kontemporer – terutama setelah berkembangnya pemikiran tentang power dan interdependence. Kelemahan kedua teori rezim ini berasal dari konsentrasinya pada regulasi-regulasi yang sangat spesifik: rezim internasional tidak selalu berupa bangun atau tatanan politik yang bersifat komprehensif. Artinya, teori rezim memang berhasil melepaskan diri dari asumsi anarkhi dalam hubungan internasional, tetapi hanya dalam kerangka spesifik tersebut.
Aliran liberal–yang menyatakan bahwa rezim mutlak diperlukan demi menjaga kooperasi antar Negara–juga mendapatkan perlawanan berupa kritik yang mengatakan bahwa rezim justru merupakan sumber penambah konflik atau inefisiensi dalam politik dunia[7]. Kritik terhadap rezim mengekpresikan ketidaksepahaman mereka terhadap rezim yang berpengaruh sebagai sumber penambah konflik atau inefisiensi dalam politik dunia. Seperti halnya rezim keamanan yang diorganisasikan oleh United Nations Security Council (Dewan Keamanan PBB) seringkali disebutkan sebagai sumber konflik negara-negara di dunia. Beberapa ahli lain mengatakan bahwa rezim hanya membuat kontrol demokratis lemah. Walaupun demikian rezim sangat berpengaruh terhadap aspek kehidupan penting anggota penyusunnya kendati pada prakteknya mereka tidak mengindahkan prinsip-prinsip demokratis yang diterapkan dalam lingkup domestik anggotanya.
Kritik lain menyatakan bahwa kebanyakan rezim hadir untuk mewakili pandangan teknokratif dari birokrat yang bekerja di rezim internasional tersebut, dengan mengatasnamakan perjanjian internasional, mereka memberikan pengaruh mereka terhadap perumusan perjanjian tersebut di belakang layar secara tertutup. WTO misalnya telah menciptakan situasi “democratic deficit” atau defisit demokrasi dengan membangun suatu departemen mengurusi masalah kerakyatan (civilian affairs department) yang semestinya mereka bertindak sebagai liaison dari kehendak orang banyak bukan sebaliknya mencampuri urusan orang.
Sebagian besar rezim masih menutup diri dari politik demokrasi langsung yang banyak dipraktekkan di berbagai negara. Akan tetapi ada anggapan bahwa penutupan diri tersebut penting, karena banyaknya koordinasi internasional membutuhkan spesialisasi tenaga ahli yang harus dikumpulkan oleh para teknokrat.

BEBERAPA PENDEKATAN TEORITIS MENGENAI DEFINISI REZIM


Sebagian besar studi rezim berasal dari aliran pemikiran berikut ini[8]:
1.      Pendekatan realis
Pendekatan ini mengatakan bahwa kondisi alamiah negara-negara di dalam sistem internasional adalah anarkis. Hal tersebut karena negara-negara berpikiran untuk mendapatkan perolehan keuntungan relatif saja, seperti posisi mereka terhadap negara lain di dalam sistem. Akibatnya negara-negara merasa enggan untuk memasuki perjanjian yang akan membuat posisi mereka relatif lebih buruk dibandingkan dengan yang lain, merasakan akibat yang harus ditanggung bersama untuk memelihara sebuah rezim. Walaupun terdapat resiko potensial dalam memasuki perjanjian kerjasama, realis percaya bahwa keberadaan rezim adalah wajar adanya.
2.      Pendekatan neoliberal
Pendekatan ini beranjak dari pemikiran realis – yang menyatakan kondisi alamiah sistem internasional adalah anarkis. Akan tetapi berlawanan dengan pandangan realis, mereka berpendapat bahwa negara-negara sebenarnya sangatlah mempertimbangkan untuk memperoleh keuntungan absolut. Pada akhirnya ketika mereka memutuskan untuk melakukan bekerjasama atau tidak, negara-negara tersebut akan mengevaluasi ‘apa manfaat yang dapat diberikan kepada mereka’ daripada memikirkan ‘apa keuntungan yang dapat mereka berikan secara relatif terhadap yang lain’. Oleh karena itu, pertimbangan utama bagi negara-negara seperti itu adalah bagaimana mereka mendapatkan keuntungan paling maksimal dan rezim alat yang efektif untuk menjamin keberlangsungan keuntungan seperti itu.
3.      Pendekatan kognitivisme (cognitivism)
Pendekatan ini memberikan kontribusi pada pemahaman kita tentang rezim dengan memahami bagaimana perilaku aktor yang tidak dibentuk oleh kepentingan material terlalu banyak, akan tetapi oleh peran mereka di masyarakat. Mempelajari rezim tanpa memerhatikan saling ketergantungan antar pandangan akan menjadi kurang lengkap.
Tidak semua pendekatan pada teori rezim bersifat liberal atau neoliberal. Beberapa ilmuwan berdisiplin realis seperti Joseph Grieco membangun teori hybrid berdasarkan pada pendekatan realis terhadap teori liberal fundamental (realis tidak pernah berkata kerjasama tidak akan pernah terjadi, hanya saja hal tersebut bukanlah norma karena kerjasama ada pada tingkatan derajat yang lain).
Seperti telah disebutkan di atas, sebuah rezim didefinisikan oleh Stephen D. Krasner sebagai satu rangkai ekplisit atau implisit dari prinsip, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan dimana terdapat perbedaan harapan aktor berbeda-beda dalam satu wilayah isu (principles, norms, rules, and decision making procedures around which actor expectations converge in a given issue-area). Definisi tersebut ditujukan luas, dan melingkupi interaksi manusia mulai dari organisasi formal (misal: OPEC) sampai kelompok informal (misal: bank-bank besar di masa krisis ekonomi), mulai aktor state sampai non-state.

HEGEMONI DALAM REZIM INTERNASIONAL


“Teori Hegemonic Stability-Neorealis” berbicara tentang eksistensi kekuatan aktor dominan yang menentukan dan mempengaruhi norms, principles, dan rules struktur internal suatu rezim dan sekaligus bersifat memaksa (impose) terhadap anggotanya agar patuh pada peraturan dengan penyesuaian-penyesuaian dari kekuatan hegemoni tersebut. Terdapat beberapa rezim yang sangat tergantung pada kekuatan hegemoni, misalnya rezim moneter (contoh: IMF), rezim perdagangan (contoh : GATT&EEC), dan rezim minyak (contoh: OPEC).
Aktor hegemoni cenderung mendapat maximum profit dengan menginduksi rezim yang ada meskipun pada kondisi tertentu kekuatan hegemoni dituntut berperan besar untuk menyediakan public good bagi semua member dengan konsekuensi adanya free riders. Sebagai akibatnya, ketika aktor hegemoni tersebut mengalami decline, ia membawa perubahan dan dampak signifikan terhadap rezim yang disokongnya.
Salah satu hegemoni dunia yang utama dalam ekonomi global adalah Amerika, dengan kapabilitas ekonomi dan politik yang mampu membentuk ekonomi politik internasional yang cenderung kapitalis dan menyediakan insentif bagi negara pengikut kapitalisme globalnya, Amerika sukses menjadi satu-satunya negara dengan potensi hegemon terbesar di dunia. Sebagai respon, Amerika pun melakukan peran hegemoninya selama beberapa dekade dan seiring berjalannya waktu mempengaruhi perubahan pada rezim-rezim yang dibentuknya: perubahan pada rezim moneter internasional yang mengarah pada pembentukan IMF berdasarkan naskah Bretton Woods; penurunan tarif dan less strict rules pada GATT memicu terjadinya free market dan industri yang berkembang pesat. Dan berbeda dengan rezim moneter dan rezim perdagangan yang dirumuskan melalui ‘kesepakatan konferensi internasional’, rezim minyak tetap eksis karena ada harapan-harapan dan asymmetries information  di antara produsen minyak Timur Tengah. Namun kegagalan Amerika dalam menstabilkan dollarnya(1971) serta mengatasi krisis minyak di tahun 1970, membuktikan bahwa hegemoni Amerika tidak lagi mampu membuat penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan masyarakat dunia. Hal ini mengakibatkan hegemoni Amerika pelan-pelan melemah dalam ekonomi politik internasional, sehingga rezim internasional  pun harus bekerja keras menggantikan fungsi fundamental hegemoni. Beberapa diantara fungsi fundamental tersebut dapat terpenuhi dan beberapa lainnya gagal. Hal tersebut menyebabkan penurunan tak lengkap rezim-rezim internasional seperti yang dijabarkan oleh Robert O. Keohane dalam ‘The Incomplete Decline of Hegemonic Regimes’. Walaupun demikian, kooperasi internasional masih mungkin terjadi selama tersedia demand of international regimes[9]. Dengan demikian teori hegemonic stability menjadi ‘sebagian salah’.

THE DEMAND OF INTERNATIONAL REGIMES

Berbeda dengan teori hegemonic stability, demand of international regimes lebih fokus pada demand –permintaan–ketimbang suplai, sebagaimana teori hegemonic stability menyatakan hegemon sebagai suplai utama sebuah rezim internasional.  
Dalam artikel “The Demand of The International Regimes”, Robert Keohane mengungkapkan bahwa rezim dianggap efektif selama  demandpermintaan adanya rezim dalam politik internasional – tersedia. Namun hal itu bukan merupakan hal yang mutlak karena terdapat beragam perbedaan kondisi dimana demand rezim semakin berkurang atau kondisi lain dimana rezim menjadi lebih signifikan meski tanpa kekuatan aktor dominan.
Rezim lebih dari sesuatu yang independen dalam politik internasional yang berperan sebagai fasilitator terciptanya agreement dengan cara menyediakan seperangkat norma, peraturan dan prinsip sekaligus menyediakan informasi yang sufficient, mengurangi asymmetric information (mencakup moral hazard–penyimpangan moral) serta mengurangi uncertainties. Rezim lahir guna menciptakan solusi tersebut untuk menyelesaikan masalah di dalam kompleksitas perilaku anggotanya secara spesifik.
Rezim internasional terkadang muncul sebagai reaksi terhadap adanya kebutuhan untuk melakukan koordinasi perilaku berbagai negara tentang suatu isu tertentu. Di tengah-tengah absennya suatu rezim yang dominan, perjanjian-perjanjian bilateral yang ada dapat menggantikan pola pengaturan di seluruh dunia. Kehadiran suatu rezim berisikan perjanjian multilateral dapat menggantikan perjanjian bilateral, berisikan standar yang dapat diterapkan secara efisien dalam berbagai bentuk seperti International Monetary Fund (IMF), Biological Weapons Conventions, dan Kyoto Protocol (Protokol Kyoto).
Rezim menjalankan fungsi penting yang dibutuhkan dalam hubungan antarnegara dan merupakan aktor independen dalam politik internasional. Rezim ketika dilembagakan akan dijaga keutuhannya sehingga kehadirannya dapat memberikan pengaruh politik melebihi independensi negara-negara yang menciptakannya. Sebagai contoh the International Atomic Energy Agency (IAEA), memiliki hak-hak yang diberikan oleh negara-negara pembentuknya untuk memonitor aktivitas penggunaan energi nuklir di negara-negara dunia.
Sebuah rezim diorganisasikan dengan perjanjian antarnegara, sehingga dapat menjadi sumber utama hukum internasional formal. Rezim sendiri dapat juga bertindak sebagai subyek dari hukum internasional. Lebih jauh lagi rezim dapat membentuk perilaku dari negara-negara penyusunnya. Rezim paling berpengaruh dapat menjadi kaidah dalam hukum internasional–merupakan pandangan para ahli aliran liberal yang melihat rezim sebagai awal terciptanya tata dunia damai. Hal tersebut sejalan dengan nafas sang filsuf, Immanuel Kant, tentang ide kedamaian berkelanjutan (perpetual peace) melalui federasi negara-negara dunia.
Rezim lahir ketika ada kekuatan aktor dominan di dalamnya (teori Hegemonic Stability), hal ini sesuai dengan pernyataan seorang pakar ekonomi, Charles Kingleberger (dalam Great Depression 1929-1939), "for the world economy to be stabilized, there has to be a stabilizer, one stabilizer".
Beberapa ahli menekankan pentingnya kehadiran sebuah hegemon (penguasa tak terkalahkan atau super power) untuk menciptakan sebuah rezim dan memberikan arti kepadanya. Seperti contohnya Amerika Serikat yang diyakini telah memberikan kontribusi besar terhadap lahirnya sistem Bretton Wood (Bretton Wood System), dengan organisasi turunannya, seperti IMF dan World Bank. Kehadiran sebuah hegemon diperlukan karena aktor dominan dalam ekonomi dan politik internasional diperlukan untuk menciptakan standar global. Ketika negara-negara lain mungkin mendapatkan manfaat dari rezim, perusahaan AS seperti Microsoft, Universal Studios, dan Pfizer akan mendapatkan keuntungan paling besar dari rezim hak cipta intelektual (intellectual property) yang memiliki standar baku. Hegemon akan menggunakan kekuatan mereka semaksimal mungkin untuk menciptakan rezim. Penarikan diri hegemon dari rezim justru akan membuat keefektifan rezim akan berkurang.
Teori hegemonic stability menyatakan pula bahwa konsentrasi power pada sebuah dominant state mempermudah perkembangan rezim agar menjadi kuat dan pemecahan power diasosiasikan sebagai rezim yang kolaps. Namun teori ini gagal menjelaskan hubungan antara perubahan dalam struktur power dan perubahan dalam rezim internasional – ia tidak memperhitungkan perbedaan kekekalan dari institusi serta tidak mampu menjelaskan mengapa rezim internasional menjadi sangat meluas saat ini daripada sebelum periode kepemimpinan hegemonis (akhir abad 19).
Keohane dalam “Cooperation and Discord in The World Political Economy tidak megingkari peran penting kekuatan aktor dominan dalam pembentukan rezim, walaupun demikian dijelaskan pula bahwa rezim bisa tumbuh dan berkembang tanpa kekuatan hegemoni[10]. Bahkan suatu contoh rezim bisa diciptakan tanpa kekuatan hegemoni yang dominan, contohnya terciptanya rezim International Energy Agency pada tahun 1973 setelah kiris minyak (pada rentang waktu 1960-1970). Namun ketika kekuatan aktor dominan rezim tersebut berkurang atau berangsur menghilang, maka demand for regime yang berperan untuk menjaga agar rezim terpelihara. Demand for regime tersebut dapat dijelaskan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain:

1.      Systemic constraint-choice analysis
Analisis ini menjelaskan perilaku anggota rezim yang tetap tergabung dalam suatu rezim kendati terdapat beberapa constraints (dapat berupa pengaruh lingkungan geografi, keterpaksaan oleh yang lebih kuat, dan lain sebagainya). Namun mereka menganggap hal yang demikian merupakan minimum rational choice yang dapat mereka dapatkan dalam membership regime – yangmana setiap aktor, baik yang kuat maupun yang lemah selalu memiliki pilihan dengan sejumlah tertentu—constraints. Pendekatan ini menggambarkan jawaban dari pertanyaan ‘mengapa para aktor yang tidak diuntungkan tetap mengikuti rezim kendati mereka menerima keuntungan yang jauh lebih sedikit dari lainnya.
2.      Function of international regimes
Fungsional rezim internasional antara lain: information-providing, reducing transaction cost, dapat menanggulangi serta mencegah information-asymmetries, serta menyediakan principles, aturan, asas kerjasama, dan lain sebagainya. Hal tersebut karena rezim mengijinkan anggotanya untuk saling mengkontrol perilaku member lainnya. Oleh karena itu melalui rezim, konflik kepentingan dapat dikurangi dengan cara mengkoordinasikan tingkah laku para member. Fungsi utama dari rezim sebenarnya adalah untuk mengfasilitasi penciptaan agreement substantive-specific dan pengganti hegemon dominan yang mengalami decline dalam beberapa fungsinya. Oleh karena fungsional-fungsional  tersebut, rezim akan selalu dipertahankan keutuhannya.
3.      Elements of demand of international regimes
Rezim, seperti yang dijelaskan sebelumnya, mengfasilitasi dalam pembuatan persetujuan substansif dengan menyediakan tatanan rules, prinsip, norma, dan prosedur negosiasi. Ada kalanya sebuah rezim menjadi tidak berguna, menurut Ronald Coase (dalam artikel Robert O. Keohane: The Demand of International Regimes), yakni ketika terjadi harmoni dan tiap-tiap aktor menerima solusi Pareto Optimal, yakni: (a) certainties – terdapat tatanan legal yang menekankan pertanggungjawaban aksi, misalya didukung oleh sebuah otoritas pemerintahan; (b)perfect symmetries information; (c) zero transaction cost. Saat ketiga kondisi tersebut terpenuhi, rezim tidak diperlukan lagi. Namun jika satu saja tidak terpenuhi, maka akan terjadi hal yang sangat berkebalikan.
4.      Information, communication, and openness
Pertama, rezim dengan tingkat keteraturan prosedur dan juga rules yang tinggi akan menyediakan informasi yang jauh leih baik dan mendapat permintaan yang lebih besar dari partisipannya. Adanya ketidakseimbangan informasi antara aktor satu dengan yang lain akan menyebabkan unfair bargaining. Kedua, rezim yang mengembangkan norma-norma yang diinginkan oleh partisipan akan lebih diinginkan ketimbang rezim-rezim yang gagal mengembangkan norma-norma tersebut. Ketiga, rezim dengan tatanan yang terbuka dan terkarakteristik dengan hubungan trans-governmental yang luas akan lebih diminta dan bermakna ketimbang rezim yang jangkauannya sebatas ikatan state-to-state.   
5.      Coping with uncertainties
Yang dimaksud dengan ketidakpastian-ketidakpastian adalah sesuatu yang menyebabkan suatu rezim menjadi efektif atau bahkan hampir mutlak diperlukan. Jika rezim dapat mengendalikan ketidakpastian maka rezim akan terus dipelihara meskipun keadaan-keadaan yang favorable – seperti yang disediakan oleh hegemon mereka pada awal pembentukan rezim – sudah tidak lagi ada. Jika pendekatan control-oriented yang lebih ambisius dan keras tidak memiliki kekuatan efektif untuk mengatur anggotanya maka insurance regimes[i] akan menjadi pilihan terbaik. Di bawah pengikisan hegemoni insurance regimes dapat diharapkan.

SIMPULAN


Kehadiran hegemon memang sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sebuah rezim. Namun ia gagal menjelaskan mengapa rezim internasional minyak tidak didirikan sebelum tahun 1974 (ketika kekuatan hegemon masih berkuasa) sebagaimana gagal menyediakan cukup penjelasan tentang perubahan pada rezim moneter internasional (IMF) yang masih mampu bertahan hingga sekarang kendati hegemon Amerika telah melemah paska runtuhnya Bretton Woods di tahun 1971 – ketika terjadi rush dollar dan kemudian Amerika memutuskan untuk melepas jaminan dollar terhadap emas pada 15 Agustus 1971. Salah satu alasannya adalah karena teori ini merupakan teori sistemik yang tidak mampu memperhitungkan adanya tekanan politik (merupakan suatu hal yang muncul dan berkembang dalam ekonomi politik dunia dan dipengaruhi oleh nature of domestic belief system dan koalisi-koalisi[11]. Teori ini juga gagal menjelaskan mengapa rezim-rezim masih mampu bertahan kendati kondisi sebenarnya dari hegemon mereka telah hilang sama sekali.    
Sementara itu demand atas rezim akan selalu eksis, berdasar pada realitas bahwa kondisi terciptanya kooperasi  yang harmoni sangatlah langka[12]. Pertama, rezim internasional dapat diinterpretasikan sebagai sarana untuk memfasilitasi penyusunan agreement dalam dunia politik antarnegara dengan menyediakan peraturan, norma, prinsip, dan prosedur yang menolong para aktor mengatasi dinding penghalang dalam sebuah kooperasi. Kedua, masalah public goods yang mempengaruhi suplai rezim internasional. Namun mereka juga memunculkan demand terhadap rezim internasional guna menyelesaikan masalah tersebut. Ketiga, fungsi utama dari rezim sebenarnya adalah untuk memfasilitasi penyusunan agreement dalam kepentingan substantive-significance dan pengganti hegemon dominan yang mengalami decline dalam beberapa fungsinya. Keempat, rezim menjadi tidak bermakna ketika demand tidak tersedia, yakni ketika harmoni terjadi dalam hubungan internasional (kendati hal tersebut sangat jarang terjadi). Kelima, ada dua macam demand-side : meningkatnya isu akan meningkatkan pula demand atas rezim dan yang kedua adalah demand atas rezim akan menjadi bagian dari fungsi keefektifan rezim dalam mengembangkan norma komitmen umum dan dalam menyediakan informasi berkualitas terhadap decision maker. Keenam, berdasarkan uncertainties, rezim terbagi dalam dua golongan, yakni: control-oriented dan insurance strategy.

PENDAPAT


Menurut saya, pada dasarnya rezim adalah sebuah reaksi atas adanya konflik kepentingan antarsesama aktor. Sebab rezim merupakan sebuah sarana yang menyediakan keempat unsur penting dalam melakukan sebuah kolaborasi maupun koordinasi, yakni prinsip, norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan. Kehadiran sebuah hegemoni memang seringkali mempermudah dan memperlancar tumbuh dan berkembangnya sebuah rezim internasional, tetapi patut kita sadari bahwa tidak selamanya hegemon tempat kita bersandar akan terus berdiri selamanya. Oleh karenanya, ada baiknya masing-masing rezim mempersiapkan kekuatan sendiri dalam mempertahankan eksistensi mereka.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, teori hegemonic stability memiliki beberapa kelemahan dimana ia tidak bisa menjelaskan mengapa rezim-rezim terus bertahan hingga sekarang kendati negara hegemon penyokong mereka telah mengalami decline, hal tersebut telah dijawab oleh Robert O. Keohane dalam “The Demand of international Regimes” bahwasanya teori hegemonic stability hanya memfokuskan diri pada suplai/ pemenuhan rezim internasional, tapi fluktuasi/ naik turunnya permintaan terhadap adanya sebuah rezim tidak diperhitungkan dalam teori tersebut. Kemudian dalam artikel tersebut Keohane menjelaskan lima prinsipal (telah disebutkan sebelumnya) dalam permintaan-permintaan terhadap rezim untuk menyediakan dasar pada sebuah penafsiran yang lebih komprehensif dan seimbang[13]. Begitulah...

SUMBER PUSTAKA

-          Haggard, Stephan and Simmons, B.A. “Theories of International Regimes.” International Organization 41, 3, pdf copy (World Peace Foundation and The Massachusetts Institute of Technology, Summer 1987).
-          Keohane, Robert. 2004. The Demand of International Regime. New Jersey: Cambridge University Press. Ch. VI.
-          Krasner, Stephen D. 1982. “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables." International Organization 36/2 (Spring). Reprinted in Stephen D. Krasner, ed., International Regimes, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983.
-          Rosenau, James N. and Ernst-Otto Czempiel, eds. (1992). Governance without Government: Order and Change in World Politics, Cambridge: Cambridge University Press.
-          Tony, Evans and Peter, Wilson, ‘Regime Theory and the English School of International Relations: A Comparison’, Millennium 21 (1992) pp.342-44.
-          Krasner, Stephen D. 2005. “Cooperation and International Regimes After Hegemony Cooperation: an Discord in The World Political Economy". NY: Cornell University Press.

ENDNOTES:

[1] Insurance regime ialah rezim yang diikuti oleh para aktor hanya untuk menjamin bahwa negara lainnya juga melakukan hal yang serupa sehingga tingkah laku mereka dapat terprediksi (Arthur A. Stein,1982. Coordination and collaboration: regimes in an anarchic world)



[1] Haggard & Simmons, 1987.p. 201
[2] Krasner,1982.p. 1
[3] Jevis (dalam Krasner, 1982.p. 2)
[4] Young (dalam Krasner, 1982.p.1)
[5] Keohane(dalam Krasner,1982.p.2)
[6] Stange (dalam Krasner,1982.p.1)
[7] Krasner, 1982.p.6
[8] Baylis and Smith, 2001. p. 310-311
[9] Keohane, 1982.p.143
[10] Keohane,1982.p. 170
[11] Gounevitch, 1978.p.89
[12] Keohane, 1982. p. 169
[13] Keohane,1982. p.142



No comments:

Post a Comment