(Etnisitas, gaya hidup, dan solidaritas sosial terbuka)
gambar diambil dari sini |
LATAR BELAKANG
Sejak Indonesia tercabik-cabik oleh berbagai peristiwa konfliktual yang berdimensikan SARA, wacana tentang etnisitas dan multicultural menjadi marak diperbincangkan. Tidak saja dalam konteks ilmiah, melainkan juga dalam politik kebijakan serta ranah kebudayaan. Etnisitas dan multicultural telah menjadi magnet baru yang menyedot perhatian sejumlah kalangan untuk diperbincangkan dan diperdebatkan sebagai keniscayaan dalam politik kebangsaan Indonesia.
Etnisitas telah memberikan banyak sumbangan terhadap munculnya konsep Negara bangsa. Etnisitas dalam entitas dalam kebangsaan Indonesia juga telah memberikan fondasi bagi kekuatan Negara ini dalam mengembangkan diri sebagai sebuah bangsa. Sayangnya, etnisitas yang dalam interaksi social modern menjadi sebuah cara atau model pembacaan social yang dikotomi dan oposisional “kami-mereka”.
Dalam konteks pluralitas, fenomena kehidupan kebangsaan kita (jika salah dalam mengelola keragaman etnisitas) akan menyerupai kerumunan etnis yang kelihatannya bersatu dan berhimpun diri tapi yang terjadi adalah kesatuan yang memisahkan. Situasi paradoks ini harusnya disikapi secara lebih arif oleh bangsa Indonesia , utamanya Negara.
Multikultural didefinisikan secara umum sebagai sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip ko-eksistensi yang ditandai dengan kesediaan untuk menghormati budaya lain.
Sebagai sebuah terminology, multikulturalisme kadang agak membingungkan karena ia merujuk secara sekaligus pada dua hal berbeda: realitas dan etika atau praktik atau ajaran (Daniel Sparinga).
Dalam masyarakat-masyarakat yang memiliki kesempatan untuk berevolusi melalui perubahan social yang panjang dan bersifat gradual, multikulturalisme (dengan nama yang sama atau yang lain) sering merupakan hasil dari sebuah proses social yang terjadi. Dalam masyarakat semacam ini, multikulturalisme adalah hasil dari sebuah logika yang dibangun dari realitas sebuah masyarakat majemuk. Kebanyakan masyarakat Barat jatuh dalam kategori ini.
Di kebanyakan belahan dunia yang lain, dalam mana sebagian besar dari mereka adalah bangsa-bangsa bekas jajahan yang terdiri atas kelompok-kelompok etnik dan budaya yang sangat majemuk itu, multikulturalisme adalah sebuah gagasan yang diperjuangkan.
PARADIGMA MULTIKULTURAL
Paradigma multicultural yang marak didengungkan sebagai langkah alternative dalam rangka mengelola masyarakat multikultur sebagaimana Indonesia tampaknya masih menjadi wacana belaka. Gagasan genuine ini belum mampu diejawantahan baik oleh masyarakat maupun pemerintah, dalam tindakan praksis. Apa yang mengemuka sepanjang tahun 2003 kemarin merupakan indikasi nyata ikhwal di atas sebagai tamsil yakni fenomena dimunculkannya UU “kontroversi” Sisdiknas yang sengaja didesakkan kelompok mayoritas. Masih munculnya keinginan sekelompok orang suapaya hokum-hukum yang bersumber dari agama yang dipeluknya dilegalisasi masuk ke dalam KUHP tanpa proses objektifikasi.
Perihal di atas sungguh memprihatinkan ketika kita menilik kembali latar sosiologis-antropologis bangsa ini yang majemuk, baik secara vertical maupun horizontal.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Beberapa hal yang dibidik dalam pendidikan multicultural ini adalah:
1) Pendidikan multicultural menolak pandangan yang menyamakan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Hal ini membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer pengembangan budaya berada di tangan mereka, melainkan tanggung jawab semua pihak.
2) Pendidikan ini menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Dalam konteks ini pendidikan mulyikultural akan melenyapkan secara stereotip menurut identitas mereka.
3) Pendidikan multicultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan (mengenai pengadopsian kebudayaan tertentu).
4) Pendidikan ini meningkatkan kesadaran mengenai kompetensi dalam beberapa kebudayaan akan menjauhkan kita dari konsep dwi-budaya atau dikotomi antara pribumi dan non pribu,i.
KONSEP MULTIKULTURALISME
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideology yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideology yang berdiri sendiri, ia membutuhkan seperangkap konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan menembangluaskannya dalam kehidupan masyarakat. Berbagai konsep yang relevan dengannya antara lain : demokrasi, keadilan dan hokum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan public, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan (Fay 1996, ex 1985, Suparlan 2002).
PEMAHAMAN TENTANG MULTIKULTURALISME
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Multikulturalisme itu sendiri adalah sebuah ideology dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia atau kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Sebagai sebuah ideeologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur keegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan social, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat.
UPAYA_UPAYA YANG DAPAT DILAKUKAN
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Bila perguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multicultural Indonsia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi social yang tercakup dalam masyarakat Indonesia.
Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pemberlakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Upaya-upaya tersebut tidak akan mungkin dapat terealisasikan bila pemerintah nasional maupun pemerinta-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Hal tersebut biasanya berkaitan dengan berbagai berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh atau dimiliki pejabat.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut di atas, sebaiknya Depdiknas RI mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolahdan pelaksaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstrakulikuler atau menjadi kurikulum sekolah.
No comments:
Post a Comment