Wednesday, August 3, 2011

HUBUNGAN INDONESIA DENGAN NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA


RIZKI RAHMADINI N.       (070810510)
DEVANIA ANESYA             (070810535)
MEGA INDAH K                  (070810716)
YUGO DIANDIKA                          (070810097)
SUROTUL BAHIYYAH       (070710435)


            Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang masuk dalam ASEAN. Indonesia dikenal oleh Negara-negara lain sebagai negara sedang berkembang yang mempunyai andil dalam pembentukan ASEAN. Seiring dengan tujuan dari geopolitik, yaitu hegemoni. Indonesia sebagai negara yang memprakarsai berdirinya ASEAN tentunya akan berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dibangun di Asia Tenggara.
Dengan semakin berkembangnya teknologi dan informasi yang ada di Indonesia, meskipun tidak sebaik dengan perkembangan teknologi dan informasi yang dimiliki oleh Singapura, setidaknya Indonesia masih memiliki pengaruh yang kuat di Asia Tenggara. Ditambah dengan kekuatan yang bersumber dari sektor demografi yang dimiliki Indonesia dan strategisnya posisi Indonesia dalam sektor ekonomi akan membuat posisi tawar menawar Indonesia semakin meningkat. Dan pada akhirnya Indonesia mampu merangkul semua negara ASEAN untuk melakukan kerjasama yang akan memberikan penilaian tersendiri dari negara-negara di Asia Tengara dalam mengukur kekuatan yang dimiliki Indonesia.

Indonesia-Malaysia
            Hubungan antardua negara Indonesia-Malaysia belum berlandaskan solidaritas yang saling mengerti dan menghargai perasaan nasional masing-masing. Hal ini dibuktikan dengan adanya serangkaian konflik antara Indonesia-Malaysia selama ini. Semakin hari, seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia, Malaysia merasa superior dibandingkan Indonesia dan rendah dalam memandang Indonesia.
Hubungan tak baik antara Indonesia dan Malaysia sudah dimulai sejak pembentukan negara Malaysia yang didukung oleh kolonialisme Inggris. Kala itu bergema slogan yang sangat kuat: Ganyang Malaysia. Indonesia pun siap mengerahkan segala sumber daya nasional mulai dari militer sampai kesenian untuk menghancurkan negara boneka imperialis Inggris: Malaysia.
Akan tetapi periode ini sudah berakhir: terjadi perubahan orientasi politik dan ekonomi di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa. Permusuhan dihentikan dan hubungan baik dijalankan. Keduanya bahkan aktif sebagai penjaga kawasan ekonomi dan politik di Asia Tenggara dan bergabung dalam ASEAN. Terlebih lagi dari segi kultur dan bahasa memang tak jauh beda antara Indonesia-Malasia. Walau begitu, selalu saja ada materi konflik yang dimunculkan dan juga terasa tak tuntas dalam penyelesaiannya. Meski berjiran, hubungan Indonesia dan Malaysia tak selalu mesra. Sebut saja persoalan tentang perebutan pulau Sipadan dan Ligitan sejak 1967, masalah TKI dan perebutan wilayah teritorial.
Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, ledakan-ledakan dalam skala lebih besar kembali mengusik hubungan Indonesia-Malaysia. Persoalan-persoalan yang belum tuntas pada masa Orba, menjadi pemicu ketegangan. Diawali dengan lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 oleh keputusan Mahkamah Internasional. Hubungan kedua negara yang diibaratkan dengan abang-adik ini pun kembali memanas. Seperti kita tahu, persoalan perebutan pulau Sipadan dan Ligitan diserahkan oleh Soeharto kepada Mahkamah Internasional pada 1997. Belum sembuh dari guncangan atas kehilangan dua pulau di atas, kembali Malaysia menyulut persoalan dengan mengklaim Ambalat sebagai wilayah teritorial mereka pada tahun 2005. Negeri Jiran ini mempersilahkan perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di laut Sulawesi. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas pulau itu. Slogan politik "Ganyang Malaysia" pun kembali populer.
Isu-isu berkaitan dengan nasionalisme selalu berhasil menaikkan tensi hubungan dua negara. Hal ini dapat dilihat pada kanyataan bahwa akhir-akhir ini hubungan Indonesia-Malaysia mulai terpicu oleh berbagai kasus lainnya yang lebih pada isu kemanusiaan, seperti Manohara, TKW (PRT) yang dianiaya majikannya di Malaysia, dan sampai masalah klaim Malaysia atas hasil seni budaya kita. Tak urung emosi publik pun semakin berkobar menanggapi rentetatan kasus tersebut, seolah menantang semangat “nasionalisme” rakyat yang cinta akan bangsanya. Upaya meredakan ketegangan antara Indonesia dan Malaysia yang sering terjadi pun merupakan hubungan formal yang belum mampu memperkuat dan memperluas hubungan interpersonal antarmasyarakat kedua negara.

Indonesia-Singapura
            Bila menilik sekelumit sejarah Singapura, keterhubungan Indonesia dengannya sangat erat. Tak hanya kedekatan secara geografis, akan tetapi kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Interaksi sejarah yang masih terkenang adalah pada saat peristiwa Ganyang Malaysia pada 1963. Singapura dan Brunei bergabung dengan Malaysia memerangi Indonesia. Akan tetapi, ketika terjadi kerusuhan antara China dan ras Melayu, Tengku Abdurrahman melepaskan Singapura supaya Melayu menjadi mayoritas di Malaysia. Bahkan diwartakan, kerusuhan rasial yang terjadi di Negeri Singa itu didalangi Jakarta.
Di era Soekarno, konfrontasi ini bermula. Atas nama menentang neokolonialisme, Soekarno berteriak. Fase historis selanjutnya dijalani oleh negara yang serumpun ini dengan berbagai jalinan hubungan kerja sama. Sama-sama perintis terbentuknya ASEAN, Singapura dan Indonesia memadu kasih dengan keserasian. Pada era Soeharto, nyaris tak ada konflik. Bahkan, bertahun-tahun di bawah kepemimpinan Soeharto,Singapura bebas melakukan latihan militer bersama. Pada masa orde baru yang panjang itu, hubungan kedua negara dimulai dengan saling curiga karena warisan lama dan ketakutan Indonesia untuk “diakali” oleh Singapura. Akan tetapi setelah lebih dari dua puluh lima tahun Indonesia membangun, akhirnya tumbuh hubungan yang didasarkan atas kesadaran kedua

belah pihak dan adanya sifat saling membutuhkan yang nampak dari banyaknya pembangunan proyek bersama dan besarnya investasi Singapura di Indonesia.
Semenjak krisis terjadi, berbagai peristiwa yang kurang menguntungkan telah mewarnai hubungan kedua negara, baik di masa presiden Habibie (munculnya istilah little red dot), maupun masa presiden Abdurrahman Wahid (pernyataan untuk menghentikan penyediaan air meskipun Indonesia tidak pernah menyuplai air untuk Singapura). Sedangkan dalam beberapa tahun terakhir, hubungan bilateral mereka cenderung membaik, meskipun juga diwarnai dengan berbagai kejadian dan peristiwa yang dapat mengganggu eratnya hubungan kedua negara. Sejak tampilnya pemerintahan baru di Indonesia dan Singapura pada tahun 2004, hubungan bilateral Indonesia-Singapura mengindikasikan perkembangan yang lebih positif dan saling konstruktif. Saling kunjung antar kepala pemerintahan kedua negara dan pejabat tinggi lainnya juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Indikasi positif ini juga telah mendorong pengembangan sektor kerja sama baru yang saling menguntungkan dan kemajuan upaya penyelesaian outstanding issues. Pertemuan informal presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Singapura, Lee Hsien Loong, di Bali pada Oktoer 2005 adalah untuk memenuhi usulan PM Singapura. Kedua kepala pemerintahan ini sepakat memparalelkan perundingan tiga perjanjian kerja sama yaitu perjanjian kerja sama pertahanan, perjanjian ekstradisi, dan perjanjian counter-terrorism.

Indonesia-Vietnam
Hanya sedikit bangsa-bangsa di dunia yang kemerdekaannya diperoleh dengan perjuangan bersenjata dan diplomasi. Dua di antaranya adalah Indonesia dan Vietnam. Wajar jika pada masa pemerintahan kedua Bapak Bangsa, terjadi hubungan “emosional” antara Indonesia (di bawah Soekarno) dengan Vietnam (di bawah Ho Chi Minh).
Hubungan diplomatik RI-Vietnam ditandai dengan pembukaan Konsulat RI di Hanoi pada 30 Desember 1955, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Kedutaan Besar RI pada 10 Agustus 1964. Hubungan RI-Vietnam memasuki tataran baru dengan ditandatanganinya "Declaration on the Framework of Friendly and Comprehensive Partnership Entering the 21st Century” pada saat kunjungan resmi Presiden RI Megawati Soekarno Putri ke Hanoi, 25-27 Juni 2003. Kedua negara telah menyepakati untuk menyusun Plan of Action (PoA) Deklarasi Kemitraan Komprehensif RI-Vietnam yang berisikan arah dan sasaran hubungan bilateral kedua negara.
Berdasarkan data statistik Departemen Perdagangan RI, nilai perdagangan bilateral RI-Vietnam pada bulan Januari-Desember 2008 berjumlah US$ 2,390 milyar. Kementerian Perdagangan Vietnam telah menargetkan ekspor Vietnam ke Indonesia pada tahun 2010 mencapai US$ 1,75 milyar.
Dalam rangka meningkatkan kerjasama budaya pun, Vietnam bersama-sama dengan Myanmar, Kamboja, Laos dan Thailand juga telah ikut berpartisipasi pada serangkaian kegiatan bertajuk “Cultural Heritage Tourism Cooperation – Trail of Civilization” yang diadakan Indonesia di Yogyakarta, 28-30 Agustus 2006. Pertemuan tersebut menghasilkan Borobudur Declaration dan Borobudur Plan of Action. Deklarasi dimaksud diharapkan dapat meningkatkan kerjasama pariwisata, khususnya dalam hal wisata religi Agama Budha.

Pemecahan Masalah Kamboja
Pecahnya konflik antara Hun Sen dan Norodom Ranaridh bukan merupakan sebuah kejutan. Hal tersebut telah dapat diperkirakan ketika keduanya diangkat menjadi perdana menteri I dan II Kerajaan Kamboja sesuai dengan hasil pemilu 1993. Keduanya berbeda visi mengenai masa depan Kamboja dan diakhiri dengan konflik bersenjata yang terjadi pada tanggal 2 dan 5 Juli 1997 di bawah kemenangan Hun Sen.
Kendati bentrokan bersenjata sudah mereda, masih terdapat potensi konflik. Pertemuan khusus menteri luar negeri ASEAN pada 10 Juli 1997 memutuskan untuk menunda keanggotaan Kamboja dalam ASEAN. Mereka juga menetapkan bahwa negara-negara ASEAN siap untuk untuk membantu usaha penyelesaian damai persengketaan di Kamboja kendati belum dapat memutuskan apakah pengambilan kekuasaan yang dilakukan Hansen adalah ilegal.
Masalah hubungan Kamboja dan Thailand yang tengah memanas saat ini menurut juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, merupakan masalah diplomatik yang biasa terjadi dalam hubungan bertetangga. Indonesia, sebagai salah satu pendiri ASEAN, mengusulkan bahwa keduanya akan menemukan jalan tengah terhadap permasalahan tersebut tanpa konfrontasi sebagai sesama anggota negara ASEAN.
Masalahnya adalah Kamboja setelah penyelesaian berdasarkan persetujuan Paris dan Peilihan Umum 1993 sudah dianggap sebagai negara berdaulat. Maka permintaan ASEAN terhadap Indonesia dan Prancis sebagai mantan ketua bersama konferensi internasional tentang Kmboja, jelas mengindikasikan lemahnya penerapan kebijakan ASEAN tentang non-inervensi diantara negara-negara ASEAN sendiri sebab permintaan intervensi harus didasarkan oleh permintaan kepala negara itu sendiri, Raja Sihanouk dan Hansen sebagai Perdana Menteri.
Disinilah Indonesia dituntut menunjukkan sikap tegas dalam mempertahankan credo non-intervensinya agar tidk terjerumus dalam sengketa permasalahan politik Kamboja sementara negara tersebut tidak memintanya. ASEAN seharusnya juga meyakinkan negara-negara ASEAN yang memiliki kepentingan atas Kamboja untuk mempertahankan kebijakan non-intevensi ASEAN terhadap Kamboja. Sebab akan membuka kesempatan negara-negara lain dalam melakukan campur tangan dengan kemelut politik negara-negara lainnya yang justru dapat menyulitkan negara itu dalam mempertahankan dan meningkatkan persatuan dalam negerinya.

Analisis
Pada dasarnya, hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN amat ditentukan oleh kondisi Indonesia sendiri, yaitu tentang bagaimana kondisi perekonomian, budaya, dan kemanan Indonesia, di mana kondisi-kondisi tersebutlah yang menentukan bagaimana sikap Indonesia terhadap Negara-negara ASEAN, apakah saling melakukan kerja sama, atau bahkan konfrontasi, dan sebagainya.  Hanya Indonesia yang kuat yang dapat memaksakan bangsa-bangsa lain untuk peduli dan menghormati legalitas dalam hubungannya dengan Indonesia sehingga terwujud hubungan yang harmonis. Selama Indonesia kacau, lemah, kurang mampu baik moral dan material, dan rakyatnya kurang pendidikan, miskin dan mudah diperdaya serta disuap dalam segala bidang, bangsa-bangsa itu memandang hubungannya dengan Indonesia terutama dari sudut bagaimana memperoleh keuntungan maksimal dari kelemahan Indonesia itu.
Namun, terlepas dari semua itu, Indonesia pada dasarnya berusaha menjalin hubungan baik dengan Negara-negara tersebut dengan menciptakan kerja sama, saling mendukung, menghormati, dan menghargai, serta saling memelihara perdamaian. Indonesia, seperti halnya negara-negara lain, tidak akan bisa memenuhi kebutuhan atau kepentingan negaranya tanpa bantuan dari negara lain, baik dalam segi ekonomi, keamanan, dan sebagainya. Oleh karena itu, Indonesia pun berusaha bagaimana agar kepentingan negaranya tersebut dapat terpenuhi dengan mengadakan hubungan yang baik dengan Negara-negara ASEAN

Sumber
§     http://www.chinhphu.vn
§     The Jakarta Post.2003. RI and Singapore’s Trade. 12 Juni
§     Yew, Lee Kuan. 2000. From Third World to First, The Sigapore Story: 1965-2000. Singapore: Singapore Press Holding
§     Kompas.1997.Kamboja Sekali Lagi. 2 Agustus
§     Leo Suryadinata. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES

No comments:

Post a Comment