Devania Annesya/ 070810535 devania.annesya@gmail.com Fauzi Rochmad R./ 070810540 fa_love_yach@rocketmail.com | Ayu N. P. P/ 070810709 cuppymarucha@yahoo.com Rolando Virgin/ 070810528 virgin_mboys@yahoo.co.id | Rosa Longi Folia/ 070810518 thecutebones@yahoo.com Zuhair Zubaidi 070710564 zuhair_hofs@hotmail.com |
Korporasi multinasional (MNC) dapat dipahami sebagai sebuah tahap logis dalam evolusi perusahaan kapitalis, sebuah tahapan selama tendensi natural dari firma kapitalis menjadi sepenuhnya “full flower”. Lebih jelasnya dapat kita pahami melalui catatan Marx terkait awal berkembangnya tingkah laku kapitalis.
Fokus pusat Marx adalah studi institusi ekonomi sebagai bagian dari proses sejarah, ia membedakan operasi bersama perusahaan kapitalis yang berbeda corak dalam menentukan perkembangan politik atau yang biasa ia sebut law of motion. Beberapa prinsipnya masih bisa ditemukan dalam firma-firma MNC hingga saat ini:
1. Kondisi perusahaan kapitalis memaksa firma individu pada kebutuhan untuk meluas secara terus-menerus. Perintah untuk terus ekspansi ini disimpulkan oleh Marx dengan: “Accumulate!Accumulate! That is Moses and the prophets!Therefore reconvert the greatest possible portion of surplus product into capital!”
2. Proses akumulasi generasi kapitalis, dan selanjutnya dikembangkan dengan meningkatnya konsentrasi kapital dalam tangan yang semakin lama semakin sedikit. Proses konsentrasi ini mengambil dua bentukan: merebaknya produksi skala besar dan kombinasi firma melalui merger dan akuisisi. Instrumen untuk melakukan kecenderungan perkembangan kapitalis ini adalah corporation, lebih sering disebut Mark sebagai joint-stock company.
3. Ekspansi perdagangan internasional, dilanjutkan feudalisme ke perusahaan kapitalis dan kemudian berlanjut ke pasar dunia yang lebih luas dan dalam.
Ketiga atribut kardinal perusahaan bisnis – ekspansi investasi, konsentrasi korporasi, dan pertumbuhan pasar dunia – dengan uniknya terpenuhi dalam MNC, namun konsentrasi kapital tidak lagi memenuhi prinsip-prinsip tersebut ketika pada tahap kapitalisme monopoli yang mana kompetisi antarsedikit korporasi raksasa adalah tipe pola industri maju.
Investasi luar negeri memainkan peran relatif subordinat dalam perekonomian internasional kapitalisme kompetitif dan perannya adalah memberi bantuan dan mendukung masalah utama saat itu. Kepentingan baru investasi luar negeri dalam fase baru di akhir abad ke-19:
1. Munculnya industri baru berdasar pada teknologi mayor,
2. Kesadaran ilmu pengetahuan dalam proses industri,
3. Permintaan yang lebih akan material mentah seringkali menuntut penemuan dan perkembangan sumber baru dari tanah seberang,
4. Terintegrasinya pasar dunia
5. Asumsi akan pentingnya peran stimulasi, influensi, dan pemecahan konflik antarperusahaan raksasa
Perkembangan penting lainnya adalah perubahan dramatis dalam national sources menuju foreign operations. Inggris yang mengawali capital exports, berawal dari peran pertamanya dalam revolusi industri, kekaisaran besarnya dan angkatan laut dominan, serta perannya sebagai markas atau tempat pasar uang internasional, secara natural mengakibatkan Inggris sebagai pemilik foreign productive assets terbesar bersama Perancis dan Jerman. Ketiganya terhitung memiliki hampir 90% foreign investment di awal pecahnya Perang Dunia I, Inggris memiliki 50%, sementara sisanya, Perancis dan Jerman, memiliki 40%.
Arus globalisasi terjadi sejak lama. Pada tahun 1800an, tenaga kerja dan modal dari Eropa (bersama - sama dengan tenaga kerja dari Afrika dan Asia) membanjiri Amerika Serikat dan mendorong pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Pada tahun 1960an, Amerika Serikat menanamkan sejumlah besar dana investasi ke Kanada dan sejumlah kawasan di Eropa Barat. Di sisi lain, tahun 1980an hingga 1990an, terjadi arus migrasi modal asing dari Jepang ke Amerika Serikat. Sedangkan apa yang terjadi kini adalah hijrahnya para pekerja dari kawasan Selatan Eropa menuju kawasan Utara yang dianggap lebih maju. Demikian juga pekerja dari Meksiko menuju Amerika Serikat.[1]
Kemudian, di era multinasional yang membutuhkan internasionalisasi sebesar mungkin pada akhirnya akan melahirkan berkurangnya peran nation - state. Spekulasi seperti ini didesak oleh pencarian bisnis besar untuk memperoleh ultimate freedom yang diperlukan agar mempermudah pergerakan modal internasional, keuntungan sebanyak mungkin, dan barang - barang. Spekulasi seperti ini juga tidak menghiraukan simbiosis mendasar dari monopoly capital dan home state. Di atas segalanya, MNC membutuhkan stabilitas sosial dari negara - negara dimana mereka beroperasi atau berharap untuk dapat beroperasi. Stabilitas internal membutuhkan sepasukan kepolisian, untuk external law and order dibutuhkan angkatan darat, laut, dan udara. Perusahaan, ketika dibutuhkan, akan melakukan investasi dalam private army untuk melindungi propertinya di sebuah negara. Mereka juga mungkin akan menyogok birokrat atau petugas negara, mempengaruhi surat - surat kabar, radio, TV, dan bentuk humas lainnya. Ketergantungan kepada pasukan militer sebagai penyokong bisnis dari perusahaan - perusahaan multinasional menguatkan, bukan melemahkan, peran negara. Lebih penting lagi untuk diingat bahwa hampir semua MNC kenyataannya adalah organisasi nasional yang beroperasi di skala global. Tidak ada celah untuk mengelak dari fakta lain bahwa kapitalisme adalah sejak awalnya merupakan world system, atau bisa dikatakan bahwa sistem kemudian diintegrasi oleh MNC.
Tapi kemudian yang menjadi esensial adalah pemahaman bahwa kapitalisme sebagai sebuah sistem dunia dimana butuh untuk diakui bahwa masing - masing firma saling berinteraksi satu sama lain di dalam sistem dimana mau tidak mau akhirnya, di dalamnya ada negara. Dengan demikian, pemilik perusahaan dan markasnya ditempatkan di salah satu pusat metropolitan dan deviden dibayarkan dengan mata uang tempat perusahaan tersebut berada. Tidak peduli seberapa menguntungkannya afiliasi luar negeri, keuntungannya tidak memiliki banyak arti kepada pemiliknya kecuali keuntungan ini dikonversikan secara bebas ke dalam rate menguntungkan dari negara asal. Terakhir, semakin kuat persaingan antara perusahaan multinasional untuk mengontrol pasar, semakin mereka butuh dan bergantung kepada dukungan aktif dari negara. Dana dan intervensi langsung negara diperlukan untuk melindungi domestic corporations yang stabilitasnya terancam oleh kehadiran dari kompetitor asing yang lebih besar. Oleh karena itu, mereka kemudian bergantung kepada dukungan pemerintah melalui subsidi untuk riset dan pengembangan, pemerintah membeli barang dan jasa, khususnya untuk kebutuhan militer, dan sebagainya.
Saling ketergantungan antara MNC dengan negara tujuan memunculkan hal - hal positif dan negatif. Balaam dan Vesseth mengemukakan sedikitnya tiga alasan positif dari keberadaan MNC. [2] Pertama, hadirnya MNC di suatu negara akan membuka lapangan pekerjaan baru dan mengurangi angka pengangguran. Transfer teknologi dan sistem manajemen baru akan diperkenalkan kepada negara tujuan. Hasilnya, adanya peningkatan skill dari tenaga kerja. Kedua, keberadaan MNC membangkitkan gairah industri lokal, terutama mereka yang memasok industri mentah ke MNC tersebut. Itulah sebabnya mengapa banyak negara tujuan mengeluarkan kebijakan kandungan lokal atas suatu produk harus mencapai ukuran tertentu. Dengan kebijakan ini, industri lokal akan mampu menghidupi pekerjanya yang akan bermuara pada pertumbuhan ekonomi domestik sekaligus memperbesar networking bisnis mereka. Ketiga, MNC di sebuah negara dianggap mampu menambah pundi- pundit penghasilan negara dengan adanya pajak insentif yang harus dibayar oleh MNC tersebut.
MNC juga menimbulkan kontra. Carbaugh mengungkapkan hal yang mendasarinya. [3] Pertama, dengan dibukanya MNC di luar negeri maka negara asal akan mengalami job loss. Contohnya, perusahaan minyak Amerika Serikat di Arab Saudi dimana posisi top level management masih dipegang oleh ekspatriat Amerika tanpa diberinya kesempatan bagi tenaga kerja lokal untuk menduduki puncak jabatan. Hal lainnya adalah eksploitasi tenaga kerja lokal oleh MNC. Dengan dalih menekan biaya produksi dan tersedianya buruh dengan upah rendah, tentu ini menjadi komoditas MNC dalam melakukan ekspansi. Eksploitasi buruh dengan upah rendah namun MNC masih saja menjual produk dengan harga tinggi. Kemudian MNC seringkali dituding mengikis kedaulatan nasional negara tujuan. Secara ekonomi, MNC kadang menggunakan teknik - teknik akuntansi yang menyebabkan hilangnya pendapatan di sektor pajak. Untuk maksimalisasi keuntungan, MNC sering menghindari negara - negara yang memiliki sistem pajak yang cukup ketat. Cara yang dilakukan adalah tidak menjual produk mereka di negara-negara tersebut walaupun MNC tadi memiliki fasilitas produksi di negara tersebut. Akan tetapi, MNC itu memindahkan produknya ke negara lain yang longgar sistem perpajakannya dan membayar pajak di negara tersebut. Secara tidak langsung, MNC telah merusak tatanan kebijakan fiskal yang dibuat oleh pemerintah. Kritik lainnya adalah ketika suatu negara mengalami krisis ekonomi, MNC biasanya langsung memindahkan modal mereka secara besar - besaran demi mengurangi resiko kehilangan profit lebih banyak. Secara politik, contoh yang dilakukan MNC Amerika Serikat di Chili. Ketakutan kalangan pebisnis Amerika Serikat jika kandidat presiden Salvador Allende terpilih mengakibatkan mereka membayar sekelompok kalangan sipil untuk membuat kekacauan sehingga Allende jatuh dari kursi kepresidenan. Hal ini karena Allende pernah menyatakan isu ekspropriasi terhadap perusahaan- perusahaan asing di Chili.
Terjadi sebuah perubahan besar pada saat-saat perkembangan perusahaan-perusahaan kapitalis sedang terjadi. Inggris memulai jaman ini dengan industrinya yang sudah maju dibandingkan dengan negara-negara lain. Jerman dan Perancis merupakan dua negara yang menjadi pesaing Inggris pada waktu itu. Inggris menguasai investasi asing sampai sebesar 50 persen dari total keseluruhan. Sedangkan gabungan dari Jerman dan Perancis hanya mencapai sebesar 40 persen saja. Bersama, total pengaruh mereka dalam investasi asing jika diperhitungkan mencapai 90 persen total investasi asing yang beredar. Pada saat ini Amerika Serikat masih belum memainkan peranannya dalam investasi asing dengan hanya 6 persen dari total keseluruhan pada tahun 1914. Tetapi hal ini dengan cepat berganti sebagai dampak dari perang dunia pertama.
Hilangnya Rusia (Uni Soviet) sebagai salah satu negara tujuan penanaman investasi asing membuat Inggris tidak mendapatkan tempat untuk dapat menanamkan investasi mereka. Hal ini turut diperkuat dengan mulai melemahnya Perancis dan Jerman dalam peta kekuatan investasi asing. Hal ini berdampak pada penurunan jumlah investasi asing yang dilakukan Perancis dan Jerman. Dari 40 persen total investasi asing yang dimiliki kedua negara tersebut pada tahun 1914, merosot hingga mencapai 11 persen saja pada 1930. Sebaliknya, Amerika Serikat memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan investasi asing mereka. Dari hanya 6 persen di tahun 1913, meningkat tajam hingga mencapai 35 persen pada tahun 1930.Tetapi peningkatan kekuatan Amerika Serikat dalam investasi asing tidak berhenti sampai situ saja. Pada tahun 1970, investasi asing Amerika Serikat mencapai 52 persen, menggeser Inggris. Inggris dan perancis pada era ini hanya menempati masing-masing posisi dua dan tiga dalam investasi asing. Jumlah investasi asing mereka berdua merosot tajam hingga hanya mencapai 20 persen saja. Sementara itu, Jepang dan Jerman masing-masing posisi di bawah Inggris dan Perancis dengan total investasi hanya 4 dan 3 persen saja.
Munculnya MNC
Hal yang mendasari perkembangan Amerika Serikat yang pesat dalam investasi asing adalah jelas berkah dari perakhirnya perang dunia dua. Pada saat ini, kekuatan ekonomi dan militer dari Amerika Serikat merupakan bidang yang menjadi fondasi kekuatan investasi asing Amerika Serikat. Lebih lanjut lagi, terdapat beberapa alasan khusus dibalik jayanya perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat. Alasan-alasan tersebut adalah : (1). Sistem pembayaran internasional yang pada awalnya mengacu pada pengaruh dan kontrol dari imperium Inggris bergeser mengacu pada bretton wood system. Hal ini menyebabkan kekuatan dolar nilai Amerika Serikat sebagai alat tukar meningkat pesat, (2). Tumbuhnya kembali perekonomian Eropa setelah berakhirnya perang dunia dua tidak lepas dari Marshall Plan. Marshall Plan ditujukan untuk memulihkan perekonomian Eropa yang hancur akibat pernag dunia dua agar Perusahaan-perusahaan Amerika Serikat memiliki pasar di Eropa dan dapat memonopolinya. Hal ini tidak bisa dilakukan Inggris yang pada waktu itu mengalami kebangkutan besar akibat perang dunia dua, (3). Perkembangan ekonomi dunia oleh Amerika Serikat diarahkan agar aman dan tetap berada dibawah kendali Amerika Serikat. Tetapi tentu saja semua negara berada dibawah kendali Amerika Serikat. Jepang merupakan salah satu negara yang mampu melawan terjangan perusahaan-perusahaan besar Amerika Serikat setelah berakhirnya perang dunia dua, (4). Perkembangan dunia setelah berakhirnya perang dunia dua oleh Amerika Serikat diarahkan ke penggunaan teknologi dan bisnis. Hal ini merupakan cara bagaimana Amerika Serikat negara-negara lain tetap berada dibawah kendalinya dan “aman”.
Meskipun Amerika Serikat tumbuh menjadi raksasa ekonomi setelah berakhirnya perang dunia dua, ada beberapa hal yang menjadi batu sandungan bagi mereka. Batu sandungan tersebut adalah : (1). Pasar dunia yang terbagi kedalam kartel-kartel raksasa yang menyebabkan terjadinya monopoli bahan mentah dan pengolahannya, (2). Masih terdapat beberapa negara yang memiliki daerah koloni dan menggunakannya sebagai daerah pangsa pasar pribadi mereka. Hal ini berarti menutup pengaruh asing agar tidak masuk, termasuk Amerika Serikat, (3). Terlepas dari munculnya perusahaan—perusahaan raksasa, tetap ada perusahaan kecil yang mampu bertahan karena mereka memiliki akses terhadap bahan dan sumber daya yang mereka jaga untuk mereka sendiri.
Tetapi, faktor-faktor diatas rupanya tidak bisa benar-benar menghambat laju pertumbuhan Amerika Serikat. Satu persatu faktor-faktor diatas mulai runtuh. Salah satunya adalah bangkrutnya perusahaan-perusahaan kecil oleh perusahaan-perusahaan besar yang dimiliki Amerika Serikat. Hal ini terjadi karena dekolonisasi menciptakan peluang baru perdagangan dan investasi, yang hal ini dengan jeli dimanfaatkan oleh Amerika Serikat. Faktor kekuatan militer dari Amerika Serikat yang begitu kuat setelah berakhirnya perang dunia dua juga memainkan perannya sendiri dalam menjaga dominasi Amerika Serikat dalam menyebarkan luaskan perusahaan-perusahaan mereka.
MNC vs Nation State
Keberadaan MNC pada dasarnya bukannya tidak selaras dengan sistem (ekonomi) suatu negara dan jaringan imperialis, justru MNC –MNC itu berevolusi menyesuaikan diri didalamnya demi mencari keuntungan dan pengaruh didalam sistem tersebut.
Jaringan MNC yang tumbuh menjadi sangat kuat dapat melemahkan posisi tawar bahkan sebuah negara sekalipun, seperti yang disebutkan salah satu kritik yang menyatakan bahwa konspirasi diantara MNC dapat menyelesaikan permasalahan internasional dengan cara mereka sendiri dan bahkan mereka mampu untuk memaksa negara untuk menaatinya, bisa dibilang bahwa dunia ini adalah taman bermain bagi MNC-MNC besar, hal ini seperti dikatakan kaum Marxis sering menghasilkan benturan-benturan dengan kaum pekerja dan bawahan dari pemimpin-pemimpin MNC tersebut, yang tidak ingin diperlakukan semena-mena, namun bagaimanapun juga setiap MNC mempunyai fokus yang menurut mereka jauh lebih penting yaitu karena MNC-MNC itu selalu terlibat dalam persaingan diantara mereka sendiri, dimana kondisi yang ada hanyalah win-lose situation. Selain segala tafsir terhadap keberadaan MNC diatas tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat suatu simbiosis diantara MNC dan negara induknya yang ditunjukkan oleh:
1. Yang paling utama adalah kenyataan bahwa MNC membutuhkan stabilitas sosial didalam negara yang merupakan wilayah kerjanya, dimana keamanan yang dapat menjamin stabilitas secara internal merupakan wewenang polisi dan yang secara eksternal adalah wewenang dari militer, meskipun MNC sebenarnya dapat saja memiliki prajurit bayaran demi kelancaran usaha mereka, dan melakukan segala cara agar pihak-pihak yang berwenang melakukan apa yang mereka inginkan, namun hal tersebut tidaklah praktis untuk dilakukan bahkan oleh MNC besar sekalipun, setidaknya untuk saat ini, sehingga ketergantungan MNC pada keamanan memperkuat nilai tawar negara bukan memperlemahnya.
2. Penting untuk diingat bahwa hampir semua MNC hanyalah perusahaan lokal yang beroperasi lintas negara, dimana yang disebut kapitalisme adalah sebuah sistem dunia, sehingga setiap perusahaan kapitalis terhubung kepada sistem tersebut melalui (sehingga bergantung kepada) negara, seberapapun luasnya wilayah kerja suatu MNC, tetap saja mereka mempunyai kantor pusat yang bertempat di suatu negara, yang berarti terikat pada sistem ekonomi negara tersebut dimana negara itu terintegrasi kedalam kompleksnya sistem ekonomi didunia dimana tidak mungkin suatu MNC dapat mengaturnya sesuka hati.
3. Semakin ketat persaingan MNC memperebutkan pasar berarti juga semakin mereka membutuhkan dukungan dari negara, seperti intervensi untuk melindungi wilayah kerjanya dalam negeri dari masuknya kompetitor yang lebih kuat, lebih jauh lagi, seberapapun kayanya suatu MNC, mereka tetap membutuhkan subsidi pemerintah bagi divisi research and development-nya, pembelian pemerintah untuk barang dan jasa yang diproduksi (utamanya untuk untuk militer). Terakhir yaitu kenyataan bahwa MNC terkuatpun tidak kebal atas resiko-resiko bisnis yang dapat berujung pada kebangkrutan, dimana disini sekali lagi bila hal itu sampai terjadi mereka hanya dapat berharap pada belaskasih pemerintah.
Apakah keberadaan MNC mengancam kedaulatan negara? Selain berada didalamnya dan menggerakkan bagian terpenting (ekonomi) dari suatu negara, MNC disebutkan juga berbahaya bagi kepentingan nasional negara induknya, tidak lain karena kuatnya kontrol mereka dalam bidang ekonomi tersebut, tapi sebelum itu perlu dibahas dua hal terlebih dahulu, yaitu definisi dari kepentingan nasional dan kemampuan negara untuk mengontrol ekonomi.
The Rise of Transnational Bourgeoisie
Seperti yang dijelaskan oleh Marx dan Angel, The Communist Manifesto telah meramalkan bahwa abad ke-20 adalah masa dimana sistem kapitalisme mendorong para borjuis untuk memperluas kekuasaannya.[4] Term borjuis disini dapat dilafalkan sebagai pihak pemilik modal terhadap keseluruhan modal dan konstruksi industry abad ke 20. Dimaksud kepemilikan modal disini adalah sebagai sebuah sumber kekuasaan system kapitalis.Kepemilikan akan modal merupakan sumber kekuasaan pada sistem yang kapitalis. Dinamika dalam hubungan internasional dan perkembangan dunia pada lima abad terakhir bisa dijelaskan dengan dinamika dari persaingan antar negara dan kompetisi dari kapitalis yang berhaluan nasional.[5] Keberadaan kapitalisme pada saat itu hanya terbatas pada persaingan negara imperialism didalam memperebutkan market negara dunia ketiga.Kelemahan dari teori imperialisme yang terdahulu adalah mereka gagal dalam menjelaskan spesifikasi aspek historis dari fenomena yang mereka paparkan, perlu ada kesimpulan yang transhistorikal dengan memperhatikan dinamika formasi kelas dari periode-periode sejarah dari perkembangan kepitalisme.[6]Disini Robinson mengkritik dimana, baik Marxist maupun non Marxist memisahakan antara sistem ekonomi global dengan negara yang berdasar pada sistem politik.[7] Menurut Woods (1999, 2002), kapitalisme global adalah diorganisir dan tergantung pada negara. Jadi konstruksi dari negara tetap ada dengan perkembangan kapitalisme, sehingga formasi kelas transnasional tidak bisa dipahami dari pertentangan dan persekongkolan dari kelas-kelas nasional.
Dapat kita lihat disini dimana mengglobalnya kapitalisme dunia telah meningkatkan kelas borjuis yang ada dan ini mendorong terbentuknya struktur terbaru dari kelas ini melalui adanya globalisasi yang ada dimana disebut sebagai transnational capitalist class atau TCC. Keberadaaan sosok TCC disini muncul diakibatkan oleh adanya sebuah konsepsi hubungan diantara kelas borjuis sebuah negara dengan negara lain dimana mereka saling berinvestasi bik itu bersifat lokal, regional, maupun internasional.Hubungan antara kaun pemilik modal ini secara eksplisit terwujud dalam World Economic Forum.[8] Di dalam perkumpulan ini masih terdapat perbedaan lagi kedalam struktur kelas fraksi yang lebih bersifat kompleks, dimana yang menjadi pembeda kelas tersebut berpatok pada besatnya kepemilikan atas bahan mentah dan sistem produksi. Layaknya sebuah sistem internasional, didalam fraksi yang ada terjadi sebuah kerjasama, konflik kompetisi yang mendorong struktur fraksi ini bersifat lebih kompleks.TCC pada saat ini benar – benar menjadi sosok superior class yang menguasai sistem kapitalisme saat ini. Pada masa kini layaknya terjadi sebuah pertentangan kelas seperti yang pernah dikatakan oleh Marx, sistem kapitalis yang ada pada saat ini juga terdapat pertentangan dua fraksi, yakni fraksi transnasional dan nasional. Perselisishan diawali pada tahun 1970-an dimana fraksi transnasional mulai melakukan sebuah terobosan subsistem negara melalui menteri keuangan dan menteri luar negeri, bank negara, yang mana keseluruhan bertujuan untuk menggiring pemerintahan sebuah negara pada struktur perekonomian global. Keberadaan fraksi transnasional disini mendorong pengaruh ekonomi global ke dalam negara negara melalui kristalisasi institusi yang antara lain adalah NAFTA, APEC, EU dan WTO. Disini ketika dalam melakukan penetrasi pengaruh global fraksi transnasional saling bergesekan dengan Dalam melakukan penetrasi pengaruh ekonomi global ke dalam suatu negara, tak jarang terjadi pertentangan dengan fraksi nasional contohnya adalah pemilihan umum di meksiko pada tahun 1990, dimana pada saat itu Institutional Revolutionary Party (PRI) yang telah menguasai negara tersebut selama enam dekade dengan menerapakan sistem kapitalisme nasional. Partai tersebut merupakan represntasi dari birokrat dan borjuis yang mempunyai kepentingan pada kerjasama subsitusi industrialisasi impor dari kapitalisme nasional. Borjuis dari Meksiko yang merupakan teknokrat dari fraksi transnasional mengambil alih partai tersebut dalam pemilihan presiden 1988 oleh Carlos Salinas de Gortari. Dalam pemerintahannya, de Gartori merubah sistem kapitalis nasional dan memfasilitasi Meksiko menuju ekonomi global.
Transnasionalisasi yang menjadi fenomena di dalam sistem kapitalisme di dunia ini perlahan-lahan menggeser sistem kapitalisme nasional yang masih berbasis pada pencapaian kekeyaan negara yang cenderung dipakai oleh negara dunia ketiga. Transnasional kapitalisme perlahan-lahan merubah kapitalisme nasional melalui penetrasi pada susbsistem sistem politik nasional dan lewat elite-elite politik yang ada dalam suatu negara tertentu. Terdapat disini beberapa indikator dari formasi TCC, salah satunya dimana batas dari TCC tidak dapat ditentukan, disini meskipun kita dapat mengkonseptualisasikan kedalam beberapa kelas, poin dimana sebuah fraksi nasional menjadi fraksi transnasional belum dapat ditentukan seberapa besar basis material yang dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk transformasi fraksi transnasional.
Multinasional di Dunia Ketiga
Seperti yang dijelaskan oleh Marx dan Angel, The Communist Manifesto telah meramalkan bahwa abad ke-20 adalah masa dimana sistem kapitalisme mendorong para borjuis untuk memperluas kekuasaannya.[9] Term borjuis disini dapat dilafalkan sebagai pihak pemilik modal terhadap keseluruhan modal dan konstruksi industry abad ke 20. Dimaksud kepemilikan modal disini adalah sebagai sebuah sumber kekuasaan system kapitalis.Kepemilikan akan modal merupakan sumber kekuasaan pada sistem yang kapitalis. Dinamika dalam hubungan internasional dan perkembangan dunia pada lima abad terakhir bisa dijelaskan dengan dinamika dari persaingan antar negara dan kompetisi dari kapitalis yang berhaluan nasional.[10] Keberadaan kapitalisme pada saat itu hanya terbatas pada persaingan negara imperialism didalam memperebutkan market negara dunia ketiga. Kelemahan dari teori imperialisme yang terdahulu adalah mereka gagal dalam menjelaskan spesifikasi aspek historis dari fenomena yang mereka paparkan, perlu ada kesimpulan yang transhistorikal dengan memperhatikan dinamika formasi kelas dari periode-periode sejarah dari perkembangan kepitalisme.[11]Disini Robinson mengkritik dimana, baik Marxist maupun non Marxist memisahakan antara sistem ekonomi global dengan negara yang berdasar pada sistem politik.[12] Menurut Woods (1999, 2002), kapitalisme global adalah diorganisir dan tergantung pada negara. Jadi konstruksi dari negara tetap ada dengan perkembangan kapitalisme, sehingga formasi kelas transnasional tidak bisa dipahami dari pertentangan dan persekongkolan dari kelas-kelas nasional.
Dapat kita lihat disini dimana mengglobalnya kapitalisme dunia telah meningkatkan kelas borjuis yang ada dan ini mendorong terbentuknya struktur terbaru dari kelas ini melalui adanya globalisasi yang ada dimana disebut sebagai transnational capitalist class atau TCC. Keberadaaan sosok TCC disini muncul diakibatkan oleh adanya sebuah konsepsi hubungan diantara kelas borjuis sebuah negara dengan negara lain dimana mereka saling berinvestasi bik itu bersifat lokal, regional, maupun internasional.Hubungan antara kaun pemilik modal ini secara eksplisit terwujud dalam World Economic Forum.[13] Di dalam perkumpulan ini masih terdapat perbedaan lagi kedalam struktur kelas fraksi yang lebih bersifat kompleks, dimana yang menjadi pembeda kelas tersebut berpatok pada besatnya kepemilikan atas bahan mentah dan sistem produksi. Layaknya sebuah sistem internasional, didalam fraksi yang ada terjadi sebuah kerjasama, konflik kompetisi yang mendorong struktur fraksi ini bersifat lebih kompleks.TCC pada saat ini benar – benar menjadi sosok superior class yang menguasai sistem kapitalisme saat ini. Pada masa kini layaknya terjadi sebuah pertentangan kelas seperti yang pernah dikatakan oleh Marx, sistem kapitalis yang ada pada saat ini juga terdapat pertentangan dua fraksi, yakni fraksi transnasional dan nasional. Perselisishan diawali pada tahun 1970-an dimana fraksi transnasional mulai melakukan sebuah terobosan subsistem negara melalui menteri keuangan dan menteri luar negeri, bank negara, yang mana keseluruhan bertujuan untuk menggiring pemerintahan sebuah negara pada struktur perekonomian global. Keberadaan fraksi transnasional disini mendorong pengaruh ekonomi global ke dalam negara negara melalui kristalisasi institusi yang antara lain adalah NAFTA, APEC, EU dan WTO. Disini ketika dalam melakukan penetrasi pengaruh global fraksi transnasional saling bergesekan dengan Dalam melakukan penetrasi pengaruh ekonomi global ke dalam suatu negara, tak jarang terjadi pertentangan dengan fraksi nasional contohnya adalah pemilihan umum di meksiko pada tahun 1990, dimana pada saat itu Institutional Revolutionary Party (PRI) yang telah menguasai negara tersebut selama enam dekade dengan menerapakan sistem kapitalisme nasional. Partai tersebut merupakan represntasi dari birokrat dan borjuis yang mempunyai kepentingan pada kerjasama subsitusi industrialisasi impor dari kapitalisme nasional. Borjuis dari Meksiko yang merupakan teknokrat dari fraksi transnasional mengambil alih partai tersebut dalam pemilihan presiden 1988 oleh Carlos Salinas de Gortari. Dalam pemerintahannya, de Gartori merubah sistem kapitalis nasional dan memfasilitasi Meksiko menuju ekonomi global.
Transnasionalisasi yang menjadi fenomena di dalam sistem kapitalisme di dunia ini perlahan-lahan menggeser sistem kapitalisme nasional yang masih berbasis pada pencapaian kekeyaan negara yang cenderung dipakai oleh negara dunia ketiga. Transnasional kapitalisme perlahan-lahan merubah kapitalisme nasional melalui penetrasi pada susbsistem sistem politik nasional dan lewat elite-elite politik yang ada dalam suatu negara tertentu. Terdapat disini beberapa indikator dari formasi TCC, salah satunya dimana batas dari TCC tidak dapat ditentukan, disini meskipun kita dapat mengkonseptualisasikan kedalam beberapa kelas, poin dimana sebuah fraksi nasional menjadi fraksi transnasional belum dapat ditentukan seberapa besar basis material yang dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk transformasi fraksi transnasional.
Perusahaan multinasional di negara berkembang bekas dekolonialisasi, sosial dan kelas yang diciptakan dari kolonialisme yang membuat perkembangan Mnc menjadi berbeda dengan Negara-negara maju. Perbedaan tersebut dirasakan dalam penggunann tekhnologi. Penggunann tekhnologi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kinerja MNc. Dengan berkembangnya tekhnologi dan ekspansi bukan hanya membuat MNc menjadi besar dan memperoleh keuntungan, namun juga membuat Mnc menanamkan pengaruh dan perubahan social dalam masyarakat dunia ke tiga.
Penggunaan tekhnologi dan perkembangan tekhnologi tidak hanya membuat Mnc mampu mempertemukan kebutuhan konsumen dengan produksi mnc baik berupa barang maupun jasa. Sehingga membuat MNC mampu memilih cara yang paling sesuai untuk memproduksi barang ataupun jasa dengan biaya yang paling sedikit.[14] Namun dengan perkembangan tekhnologi Mnc juga menguatkan cakarnya di Negara-negara berkembang. Selain berusaha menyamakan budaya dan melakukan penyeragaman budaya. Seperti perusahaan coca-coala yang telah menyebar. Dimanapun kita minum coca-cola rasanya pasti sama. Mnc juga melakukan penyebaran fashion, life style dan memberitahukan standar hidup dunia.
Dalam politik MNC juga dapat memiliki pengaruh yang sangat besar. MNC mampu mempengaruhi kebijakan suatu ambil contoh Amerika Serikat melakukan ekspansinya ke Irak karena kebutuhan akan minyak industrialisasinya. Dan kebijakan menyerang Irak karena tekanan dari perusahaan besar di Amerika. MNC mempunyai peran penting dalam kekutan politik terutama Negara maju. Dengan MNC mereka mampu mengontrol perubahan sosial dalam masyarakat dunia ketiga.
Direview dari
Harry Magdoff (1978). ‘The Multinational Corporation and Development - a Contradiction?’ dalam ‘Imperialism: From the Colonial Age to the Present’. New York: Monthly Review Press, pp. 165 -197
Sumber lain yang mendukung:
Michael J. Carbaugh (2000). International Economics. Seventh Edition. Cincinnati: South-Western College Publishing.
David Balaam and Michael Vesseth (2001). Introduction to International Political Economy. Second Edition. New Jersey: Prentice Hall
[1] Michael J. Carbaugh (2000). International Economics. Seventh Edition. Cincinnati : South-Western College Publishing.
[2] David Balaam and Michael Vesseth (2001). Introduction to International Political Economy. Second Edition. New Jersey : Prentice Hall
[3] Michael Carbaugh (2000). Ibid
[4] William Robinson. 2004. “Global Class Formation and the Rise of a Transnational Capitalist Class”, dalam A Theory of Global Capitalism: Production, Class, and State in a Transnational World, Baltimore: the John Hopkins University Press, hal. 44.
[5] Ibid, hal. 45.
[6] Ibid.
[7] Ibid, hal. 46.
[8] Ibid, hal 48.
[9] William Robinson. 2004. “Global Class Formation and the Rise of a Transnational Capitalist Class”, dalam A Theory of Global Capitalism: Production, Class, and State in a Transnational World, Baltimore: the John Hopkins University Press, hal. 44.
[10] Ibid, hal. 45.
[11] Ibid.
[12] Ibid, hal. 46.
[13] Ibid, hal 48.
[14] Harry Magdoff. New York: Monthly Review. “The Multinational Corporation & Development – a Contradiction”.
No comments:
Post a Comment