Sunday, February 26, 2012

“KONSENSUS WASHINGTON” ATAU “KEBINGUNGAN WASHINGTON”?


            Teoori pembangunan mutakhir telah menemukan konsep baru yang diformulasikan dalam istilah yang biasa disebut dengan Konsensus Washington. Dipicu oleh kegagalan pemerintah yang semakin meluas dalam mengelola kegiatan ekonomi, konsep Konsensus Washington berpijak pada upaya stabilisasi melalui kebijakan penyesuaian struktural, yang direkomendasikan oleh organisasi Bretton Woods dan Badan Ekonomi Amerika Serikat. Konsensus Washington menekankan kepada kebijakan makro ekonomi dan keuangan yang lebih hati-hati, nilai tukar mata uang yang lebih kompetitif, liberalisasi keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Mekipun begitu, akibat pengabaian terhadap aspek politik, perjalanan dari reformasi ekonomi justru semakin menenggelamkan krisis ekonomi ke jurang yang lebih dalam. Di samping itu, dalam fase implementasi, proses reformasi ekonomi seringkali berhadapan dengan rintangan politik. Setidaknya ada tiga palang politik yang dapat menggagalkan program reformasi ekonomi. Pertama, kebijakan reformasi ekonomi yang menyentuh barang-barang publik selalu menimbulkan masalah munculnya penunggang gelap, sehingga pada titik ini sangat mungkin timbul tindakan kolektif. Kedua, dalam pandangan model distributif, kebijakan reformasi diasumsikan akan didukung oleh kelompok pemenang dan dilawan oleh kelompok pecundang, sehingga hasilnya sangat tergantung dari kekuatan politik diantara koalisi pemenang. Ketiga, masalah klasik dari reformasi ekonomi adalah biayanya terkonsentrasi pada satu kelompok tertentu, tetapi keuntungannya menyebar kepada banyak kelompok sehingga kadang-kadang tidak ada insentif untuk melakukan program tersebut (Haggard dan Kaufman, 1995:156-157). Kasus di Argentina dan Meksiko memperlihatkan hal itu, di mana reformasi ekonomi bisa gagal akibat adanya rintangan politik.


Konsensus Washington memiliki pengaruh yang luas dalam reformasi ekonomi bagi banyak negara. Namun cara mereka mengintrepetasikannya begitu beragam dan begitu pula cara mereka mengimplementasikannya. Sebagai tambahan, 10 preskripsi kebijakan konsensus Washington hanya memerintah pada waktu yang relatif singkat. Perubahan dalam ekonomi internasional dan lingkungan politik, sebagaimana kondisi domestik terkini mereformasi negara, menciptakan masalah yang mana konsensus Washington tidak memperhitungkannya dan memaksa mereka menemukan jawaban yang baru.

EVOLUSI COMMON WISDOM
            Salah satu kontribusi Konsensus Washington ditandai dengan berakhirnya pemisahan antara pembangunan ekonomi dan aliran ekonomi yang telah bersama selama berdekade. Dapat dilihat defisit publik yang meluas dan memudarnya inflasi fuel kebijakan moneter. Inflasi dipercaya sebagai sebuah hasil kondisi struktural seperti distribusi yang tidak sama pendapatan dan kemakmuran.
            Begitu pula dengan kepercayaan bahwa negara yang kurang berkembang tidak mendapat keuntungan dari perdagangan internasional yang semakin bebas dan investasi. Sementara itu konsensus Washington meminta negara untuk menghilangkan segala macam hambatan impor dan ekspor, investasi luar negeri, dan juga segala transaksi yang menyebabkan negara berkembang cenderung memproteksi ekonomi mereka dari eksploitasi sistem internasional.
            Pada Januari 1994 munculnya instutusi ditandai ketika NAFTA (North American Free Trade Area) secara resmi member efek. Mungkin tanggal itu menyimbolisasi hari di saat politisian, ahli reformasi, dan jurnalis di seluruh dunia mulai serius terhadap reformasi makroekonomi, kendati sangat dibutuhkan, tidak cukup untuk mengarahkan negara pada suatu kejayaan. Ketika munculnya reformasi ekonomi yang memunculkan suatu bentuk institusi tidak ada pembicaraan atau kebijakan tertulis tentang reformasi pasar tanpa referensi untuk memperkuat institusi dan lama kelamaan kehilangan cara untuk mengimplementasikan reformasi institusional tersebut.
            Apa yang menjadi ironi adalah bahwa konsensus Washington melewatkan globalisasi, ia tidak menyediakan kebijakan-kebijakan untuk membuka ekonomi dalam lingkup globalisasi. Sungguh ironi ketika globalisasi itu sendiri pada mulanya diusung oleh Washington. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana merekoveri negara-negara yang masih belum berkembang.

LIMA ‘I’ DALAM REFORMASI EKONOMI
            Dalam artikel Naim, disebutkan ada lima bentuk I dalam reformasi ekonomi:
  1. International Economic stability: masing-masing negara akan cenderung mengeluarkan institusi dan kebijakan untuk memitigasi dampak syok ekonomi ketimbang menunggu arsitektur global yang baru untuk mengeliminasi efek dari lingkaran ekonomi internasional.
  2. Investment: tanpa investasi tidak akan ada pertumbuhan ekonomi dan tanpa pertumbuhan ekonomi maka tidak ada kebijakan ekonomi yang mendukung.
  3. Inequality: meskipun kemiskinan merupakan perhatian fokus politik, sekarang adalah masa dari ketidaksamaan pendapatan.
  4. Institution: institusi publik yang seharusnya membantu mengusahakan dan menginvestasikan atas perekonomian dan produktivitas, pada masa sekarang merupakan pusat korupsi.
  5. Ideology: melalui ideologi yang dimiliki bersama akan mempermudah jalannya dukungan terhadap kebijakan terkait perekonomian.

ANALISIS
            Konsensus ini tidak lain merupakan sebuah paket program untuk memulihkan perekonomian. Resep ini, pada intinya, didasarkan pada kepercayaan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya bisa dicapai dengan liberalisasi dan menciptakan pasar bebas. Restrukturisasi ekonomi yang banyak dijalankan oleh negera-negara berkembang sejak dekade 1980-an, ternyata tidak menunjukkan perbaikan bagi negara-negara tersebut. Di bawah koordinasi IMF dan World Bank, dua organisasi yang dibentuk pada saat Konferensi Bretton Woods setelah Perang Dunia II, proses reformasi ekonomi di bawah payung program penyesuaian struktural, ternyata justru kian menenggelamkan beberapa negara berkembang ke dalam situasi krisis yang semakin akut. Dalam literatur ekonomi, paket kebijakan penyesuaian struktural tersebut biasa disebut dengan istilah Konsensus Washington (Washington Consensus). Secara eksplisit, paket Konsensus Washington hendak menghilangkan intervensi negara dalam kegiatan ekonomi, misalnya lewat kebijakan deregulasi dan privatisasi. Dalam perjalanannya, kebijakan itu malah menimbulkan ekses yang cukup banyak, bukan saja dalam lapangan ekonomi tetapi juga di bidang sosial dan politik. Pada titik ini, minimalitas campur tangan negara ternyata tidak menjamin kinerja ekonomi menjadi lebih baik. Inilah kesalahan paling fatal yang diproduksi oleh kedua lembaga multilateral tersebut. Sejak saat itulah Bank Dunia dan IMF menggulirkan Reformasi Generasi Kedua (Second-Generation Reforms) untuk menambal kegagalan proyek yang pertama. Poin terpenting dari reformasi generasi kedua ini adalah, kesadaran lembaga multilateral tersebut untuk meletakkan persoalan (reformasi) ekonomi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari urusan politik. Hal ini penting untuk disadari, karena proses reformasi ekonomi akan selalu berhadapan dengan rintangan politik. Salah satu aspek politik yang penting untuk dikerjakan adalah melakukan konsolidasi politik dan membangun kapabilitas negara untuk menjalankan reformasi ekonomi. Tanpa mempertimbangkan hal tersebut, bisa dipastikan proyek reformasi ekonomi yang dilangsungkan bakal terancam di tengah jalan, seperti yang terjadi di Argentina dan Meksiko. Realitas inilah yang harus dijadikan rujukan oleh setiap pengambil kebijakan (policy makers), khususnya di negara berkembang, bila ingin menerapkan reformasi ekonomi. Indonesia, sebagai salah satu negara yang saat ini tengah melakukan langkah serupa, seharusnya belajar dari pengalaman negara-negara Amerika Latin tersebut agar tidak terantuk pada batu yang sama.

Direview dari
Naim, Moises. 2000.Washington Consensus or Washington Confusion?’ dalam Foreign Policy, No. 18, pp. 86 -103


No comments:

Post a Comment