Pada pelajaran yang lalu kita sudah membahas mengenai depresi dunia dan bagaimana ekonomi dunia terinstitusionalisasi dari standar emas ke sistem Bretton Wood. Kali ini kita akan membahasa bagaimana negara-negara berkembang bekas koloni (akibat dari dekolonisasi) sebagaimana pemerintahan India baru, Amerika Latin, dan yang lainya dalam menghadapi masa horror dari depresi dunia, bagaimana mereka menghadapinya dalam abad stagnasi.
Formula yang diadopsi tak lain adalah nasionalisme ekonomi. Ketika negara kapitalis berkembang meninggalkannya dalam orientasi 1930, negara berkembang justru mengadopsinya dengan antusias. Negara-negara berkembang tersebut menutup diri mereka dari perdagangan luar negeri dan mengupayakan peningkatan industrialisasi. Dan selama satu dekade berakhirnya Perang Dunia, negara dunia ketiga memformulasikan konsep nasionalisme antara integrasi global kapitalis negara dunia pertama dan perencanaan sentral Komunis Dunia Kedua.
Saat perang dunia kedua pecah, kerajaan Eropa berada pada puncaknya. Namun di tahun 1965 kolonialisme kolaps dengan beberapa alasan. Yang pertama yakni adanya evolusi ekonomi dan politik di masyarakat koloni yang kemudian memunculkan rasa tidak terpuaskan dari kolonial mereka. Kolonialisme juga mendapatkan masalah global yang mana isolasi kolonis dari ekonomi dunia, menekan ekspor, menstimulasi urbanisasi dan industrialisasi, dan membangun bisnis lokal dan ketertarikan kaum menengah. Tahun-tahun interwar telah melemahkan aturan kolonial dan justru memperkuat ketidaksimpatisan terhadapnya. Dan seringnya terjadi konflik militer terbuka antara kolonial dan masyarakat koloninya seperti yang terjadi di Indonesia dan Indonchina. Maka kolonialis memutusakan untuk menemui permintaan lokal, missal India, guna member hak untuk menentukan diri sendiri dan akhirnya dijanjikan untuk diberi kemerdekaan penuh.
Selain itu terdapat paksaan akan perubahan kekuatan kolonial itu sendiri. Jika sebelum PD II kolonialisme dijustifikasi sebagai diplomatik dan wilayah ekonomi, sekarang geopolitik menyatakan bahwa itu menjadi tidak penting lagi. Posisi strategis Inggris, prancis, Belanda, dan belgia yang berada di bawah paying nuklir Amerika yang mana keutaamaan kolonis menjadi berkurang sejalan dengan perang. Eropa pun lebih melakukan perdagangan dengan negara tetangga dan Amerika Serikat. Sebagai tambahan ekonomi kolonis sudah tida terlalu mendukung. Manufaktur yang tengah dijalankan Eropa tidak begitu membutuhkan kolonialisme dan seringkali diuntungkan dengan adanya tariff tinggi yang dilakukan negara-negara independen tersebut. Yang terakhir adalah keberadaan Amerika yang antikolonialisme. Ideologi ini membawa Eropa pada akhir khususnya selama krisis Suez ketika tahun 1956 Israel, Prancis, dan Inggris menyerang Mesir melawan nasionalis Gamel Abdel Nasser. Amerika bertindak dengan menghentikan bantuan finansialnya kepada Inggris dan membuat Inggris tidak memiliki pilihan kecuali mundur.
Dekolonisasi dan pembangunannya
Sebagaimana negara bekas koloni yang baru saja mendapatkan kemerdekaannya, Amerika Latin mengisolasi diri dari perekonomian dunia dari 1930 hingga awal 1950 sesuai dengan tren ekonomi dunia sendiri. Jatuhnya ekonomi dunia mencampakkan ekonomi pada masing-masing daerah sesuai kemampuannya. Pun industri baru diharapkan tumbuh untuk mencukupi permintaan lokal dan ekspor pertanian dan pertambangan tenggelam dalam sekejap.
Amerika latin telah bertransformasi dari tradisionalisme ekonomi yang kuat ke nasionalisme ekonomi yang kokoh, berkembang, dan populasisme. Aliansi implisit bagi pembangunan industri nasional, termasuk di dalamnya bisnisman urban, profesionalisme kelas menengah, dan pegawai pemerintahan, dan pegawai pabrik, mendominasi wilayah. Aliansi tersebut secara implisit dapat dianalisa sebagai suatu bentuk yang cenderung pada koalisi anti-imperialis antara pekerja nasional dan kapital nasional. Komunitas bisnis kesadaran akan rasa nasionalisme seringkali dipengaruhi oleh retorik kuasi Marxis mengenai bahaya kapitalisme luar negeri. Seorang bisnisman dan intelektual, Brazil Luiz Carlos Bresser-Pereira, menuliskan bahwa pembagian tenaga kerja, mengkonstitusiakn kesempatan bagi pembangunan Brazil, melalui nasionalisme sebagai ideologi dasar industrialisasi dan intervensionisme pembangunan yang mana nantinya juga menuju pada terciptanya borjuis industrial. Di akhir tahun 1940an negara-negara Amerika latin pada prinsipnya industrial dan urban, dengan seperlima out put dan pekerja manufaktur, level yag sama sebagaimana Amerika Serikat di tahun 1890. Seperempat populasinya tinggal di kota dan lebih dari dua puluh ribuan, jumlah yang lebih besar dari benua Eropa di tahun 1990.
Sebenarnya dukungan autarki di Amerika Latin muncul antara 1930 dan 1940an dan munculnya perang dunia dua, namun kondisi eksternal paska restorasi perang tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkannya. Begitu banyak yang berubah, industrialis yang sebelumnya tidak konfrontrasi terhadap impor selama dua puluh tahunan tidak mampu menanggulangi persaingan dan Amerika Latin kembali pada nasionalisme ekonomi yang mengusahakan adanya proteksi industri lokal. Sebagai contoh Amerika Serikat yang mulai mengekspor material mentah dan mengimpor manufaktur, dan pengeksporan kapas dan tobacco Selatan melawan proteksionisme manufaktur Utara berdekade lamanya. Hasilnya adalah pertumbuhan industrialisasi yang cepat, konsolidasi pasar nasional, dan bahkan menstimulasi solidaritas nasionalisme. Apa yang terjadi di Kanada, Jerman, Jepang, dan lainnya adalah model dari America’s southern neighbors.
Di tahun 1950an Amerika Latin bergerak dari gerakan respon dari kolapsnya pasar dunia ke usaha kesadaran untuk membatasi perdagangan luar negeri. Kebijakan ini dikenal sebagai import-subtituing industrialization (ISI), bertujuan untuk mengubah produksi industri lokal untuk barang-barang yang dulunya diimpor. Komponen pertama dari ISI adalah barrier perdagangan yang tinggi agar barang impor menjadi sangat mahal. Pemerintah juga menyediakan subsidi dan insentif bagi industri. Mereka member tax break dan kredit murah untuk para investor industrial dari bank pemerintahan dan memberi akses yang khusus bagi industrialis lokal untuk mengimpor barang kapital dengan menyediakan cheap dollar. Pemerintah Amerika lati juga mengambil alih industrial plant. Mereka menjalankan pembangunan jalan raya, pelayaran, sambungan telepon, sistem listrik, dan beberapa bagian infrastruktur sebagaimana Eropa Barat. Kebijakan ISI terbukti menstimulasi pembangunan industrial yang luar biasa baik. Dari tahun 1945 sampai 1973 produksi industri Meksiko empat kali lipat dan Brazil sampai delapan kali lipat.
Amerika Latin benar-benar berbeda dari pembangunan dunia di tahun 1973. Jelasnya, ia hanya mencapai sepertiga dari pendapatan rata-rata. Ia juga masih memiliki cukup banyak orang di pertanian: sepertiga hingga setengah, level yang lebih tinggi dari Eropa empat puluh tahun yang lalu. Kemiskinan merebak dan tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Sementara industri meluas, ia tidak benar-benar efisien dengan harga di atas level pasar dunia. Ini karena tingginya proteksi barrier dan ekonomi Amerika latin hampir merupakan pasar tertutup di dunia melebihi Uni Soviet sendiri. Meski terdapat beberapa kelemahan dalam ISI namun bagaimana pun Amerika Latin telah mencapai tujuannya dan terindustrialisasi.
Sementara itu di India muncul tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan India, keturunan Nehru. Selama masa interwar ia meyakinkan bangsa India bahwa aturan kolonial tidak penting lagi. Negara tetap akan baik-baik saja meski terpisahkan dari koloni pada masa perang, rekontruksi, dan depresi. Otonomi yang Inggris berikan pada India membuktikan bahwa India mampu mengatur dirinya sendiri dan menata kebijakan bagi kebutuhan lokal.
Dalam sepuluh tahun menjalankan kemerdekaan, Pandit Nehru mencampurkan nasionalisme dan sosialisme dengan fokus tujuan yang memungkinkan. Tidak seperti di Amerika Latin, India mengkopi perencanaan Soviet menggunakan seri five-year plan yang mengatur arah jalannya industrialisasi. Pemerintahan menekankan investasi dalam infrastruktur dan industri dasar, untuk nantinya bergerak ke industri manufaktur modern. Sementara kebijakannya sama dengan Amerika Latin, model ISI. Pemerintahan mengadakan proteksi perdagangan, kredit subsidi, insentif pajak, dan hal semacamnya. Kebijakan-kebijakan tersebut mencapai hasil yang sama seperti negara-negara penganut ISI lainnya. India mengalami industrialisasi yang cepat.
Di negara dunia ketiga, mereka menerima ISI dengan sangat terbuka. Postcolonial membawa mereka pada suatu orientasi nasionalisme industri. Pemerintah mengarahkan orang-orang yang dulunya berkebun dan menambang ke produksi manufaktur. Afrika dan Asia melakukannya meski tidak seberkembang di Amerika Latin. ISI di negara-negara ini sebagaimana di Amerika Latin membutuhkan lebih banyak proteksi dan subsisidi untuk menginkubasi industri baru.
Sebagian besar negara Asia dan Afrika mengikuti gaya Amerika Latin, tapi beberapa di antaranya mencoba sesuatu yang baru. Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan koloni Inggris Hongkong mendorong manufaktunya untuk ekspor guna mengembangkan pasar negara. Dan pada 1960an mereka memdirikan Export-oriented industrialization (EOI).
Analisis
Antara 1939 dan 1973 sebagian besar negara-negara berkembang berorientasi pada ISI nasionalis. Amerika Latin dan beberapa negara indepeden lainnya memulai pula ini di tanun 1930an. Diikuti tiga gerakan liberalisasi, yakni Asia di tahun 1940an, Timur Tengah dan Afrika Utara di 1940 dan 1950an. Mereka menjaga jarak dengan produk luar negeri, mempanyak konsumsi produksi lokal, dan mempromosikan kota dan industri pada petani dan orang-orang pinggiran dengan cara mengadakan proteksi perdagangan, kredit subsidi, insentif pajak, dan hal semacamnya. Sebagian besar dari negara-negara pengikut ISI ini berhasil, ekonomi bangkit, industrialisasi maju, standar hidup berkembang. ISI membawa kesuksesan ekonomi bagi negara-negara yang baru berkembang. Begitu pula yang terjadi pada EOI. Nasionalisme ekonomi menawarkan formula yang sesuai bagi industri anakan dan berkembangnya negara-negara yang baru merdeka yang mana mereka pemerintah masih perlu mengadakan proteksi bagi industrinya agar terhindar dari kematian akibat kompetisi free trade.
Direview dari
Frieden, Jeffry A. 2006. “Decolonization and Development” dalam Global Capitalism: Its fall and rise in the Twentieth Century. New York: W. W. Norton & Co. Inc
No comments:
Post a Comment