Saturday, July 2, 2011

GANYANG MALAYSIA



Setelah hampir sampai konflik dengan Belanda-Indonesia dalam memperebutkan Irian Barat yang akhirnya dimenangkan oleh Indonesia, Soekarno melihat pembentukan Malaya oleh Inggris sebagai suatu tindakan terhadap pengepungan terhadap Indonesia, terutama dalam perekonomian. Dalam kerangka pandangan dunianya, posisi Indonesia sebagai NEFO akan terjepit di antara musuh-musuh OLDEFO yang melindunginya, jika dilihat bahwa disebelah utara terdapat bekas jajahan Inggris yakni Malaya sampai Kalimantan Utara dan di selatan ada Australia dan Selandia Baru. Sikap permusuhan Soekarno terhadap negara tetangga oleh sejumlah orang dianggap sebagai tujuan-tujuan ekspansionisme Soekarno atau dia memang memerlukan suatu masalah gawat di luar untuk kepentingannya. Tetapi yang jelas, dalam usahanya menghadapi Malaya, Soekarno mengulangi formula yang sukses, ketika berhadapan dengan Belanda pada masa revolusi nasional dan perebutan Irian Barat. Kemudian Indonesia membentuk CONEFO yang didukung oleh sejumlah Negara komunis. Dibentuknya garis Jakarta Peking Pyongyang merupakan sebuah optimisme Indonesia akan kekuatan militer mereka yang saat itu sedang memuncak atas bantuan Uni Soviet. Pernyataan “Ganyang Malaysia” diikuti oleh tindakan pemuda yang mendemo Kedubes Inggris, rumah-rumah warga Negara Malaysia dan Inggris diserbu dan sejumlah asset Malaysia dan inggris diserbu dan diambil alih. Memanasnya kondisi politik antara Menlu Soebandrio dan Duta Besar Inggris Gilchrist atas tuduhan bahwa Gilchrist dituduh memiliki dokumen usaha menghancurkan RI diikuti oleh sejumlah pasukan Indonesia yang secara sporadic mendarata di wilayah Malaysia dan pasukan Indonesia disiagakan seluruh perbatasan darat, laut dan udara. Namun saat itu kondisi domestik Indonesia, terutama dalam bidang perekonomian terpuruk dan akhirnya G30 S PKI menghancurleburkan rezim Soekarno.
POLITIK POROS-POROSAN
Selama tahun-tahun terakhir jelas kebijakan politik luar negeri Indonesia diwarnai oleh Soekarno. Kalau politik luar negeri pada awal tahun 1950-an, bersifat netral walaupun agak cenderung ke Barat, tetapi setelah dikendalikan oleh Soekarno, berubah secara perlahan-lahan dan pasti sebagai manifestasi rasa permusuhan terhadap imperialisme ke arah negara-negara sosialis. Bahkan menjelang tahun 1965 telah terjadi Poros Jakarta-Peking (atau Poros Jakarta-Pnompehn-Peking-Pnyonyang, menurut Istilah Soekarno). Poros antiimperialisme ini dianggap Soekarno dibentuk oleh jalannya sejarah. dan mengambil sikap netral terhadap situasi yang ada dan itu bisa diartikan menerima status quo.
Tahun-tahun terakhir sebelum kejatuhan Soekarno, Indonesia mengambil kebijakan berdikari dalam ekonomi dan menolak setiap ketergantungan kepada imperialisme. Berdikari dalam bidang ekonomi dianggap sebagai prasyarat untuk kemerdekaan yang sejati dalam bidang politik maupun kebudayaan. Untuk itulah tidak usah heran, kalau dalam suatu kesempatan Soekarno pernah mengeluarkan kata-kata yang cukup terkenal, “Go to hell with your aid”, ketika Amerika Serikat hendak memberi bantuan, tetapi dengan mengajukan persyaratan yang dianggap Soekarno hendak mencoba mempengaruhi kebijakan politik luar negeri Indonesia. Bagi Soekarno, politik luar negeri yang bebas dan aktif harus diberi arti bahwa Indonesia mengambil peranan sebagai sebagai pemimpin untuk membawa semua kekuatan progresif di dunia ke dalam suatu front internasional untuk kemerdekaan dan perdamaian dunia buat melawan imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk baru.
ANALISIS
Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri Soekarno, muncul beberapa pertanyaan mengenai latar belakang apa yang menyebabkan Soekarno melakukan politik konfrontasi terhadap Malaya. Ada beberapa penjelasan yang bisa diajukan sebagai jawaban. Pertama, prinsip politik luar negeri Soekarno adalah ‘perluasan politik’ dalam negerinya; Kedua, adanya kemiskinan dan merosotnya ekonomi menjadikan politik konfrontasi sebagai alat untuk membangkitkan semangat nasional dan mempertahankan persatuan bangsa.
Dalam sebuah buku, Indonesia Foreign Policy and The Dilemma of Dependence: From Soekarno to Soeharto yang diterbitkan oleh Cornell University Press pada tahun 1976, yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Franklin Weinstein, dengan menggunakan serangkaian wawancara mendalam dengan beberapa elite politik Indonesia yang berkecimpung dalam soal-soal politik luar negeri, menunjukkan hampir tidak terdapat kritik terhadap dasar-dasar politik luar negeri yang dijalankan oleh Soekarno. Kebanyakan mereka menyalahkan Soekarno dalam kegagalannya membangun ekonomi sebagai kekuatan dalam negeri yang sebenarnya cukup mampu mendukung politik kepemimpinan internasional serta politik berdikarinya. Kebanyakan responden yang diwawancarainya, Soekarno berhasil dalam mengusahakan peranan utama Indonesia dalam percaturan politik internasional sebagai kesuksesan besar—Konferensi Asia Afrika di Bandung dan Pembebasan Irian Barat. Bahkan banyak pemimpin dari ketiga generasi yang diteliti itu menyatakan bahwa politik luar negeri Soekarno telah membangkitkan rasa kebanggaan nasional. “Dunia mengenal Indonesia karena mengenal Soekarno.“ Dan yang sangat mengherankan adalah bahwa konsep konflik antara NEFOS dan OLDEFOS masih diterima secara luas oleh pemimpin Indonesia sebagai suatu cara berguna untuk membagi dunia ini. Konsep itu ditangkap kembali dalam terminologi ekonomis dengan mengurangi dimensi ideologisnya, di mana terdapat pertentangan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin.
Di sisi lain, Dr Michael Leifer lewat bukunya Politik Luar Negeri, yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 1986, menjelaskan pidato-pidato Soekarno dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1960 di hadapan Konferensi Negara-negara Nonblok di Beograd tahun 1961, berkisar pada perlunya membangun kembali suatu dunia baru yang lebih adil. Ternyata dua puluh tahun kemudian konsep ini pun masih relevan. Kini negara-negara maju dan negara-negara berkembang berbicara dengan kearifan baru untuk mewujudkan tata ekonomi Internasional baru. Menurut Dr. Michael Leifer, Soekarno dengan gagasan-gagasan besar yang termuat dalam kedua pidato di atas sebenarnya telah berpikir satu dekade lebih cepat dari zamannya. Untuk itu, tidak usah heran kalau Dr. Soedjatmoko, cendikiawan nomor satu yang dimiliki oleh republik ini, mengatakan bahwa Soekarno adalah seorang visioner.

Sumber:
-          Simponi, 11 dan 18 September 1991
-          Weinstein, Franklin.1976.Indonesia Foreign Policy and The Dilemma of Dependence: From Soekarno to Soeharto.Cornell University Press
-          Leifer,Michael,1986.Politik Luar Negeri.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama

No comments:

Post a Comment