Saturday, July 2, 2011

BANDUNG SPIRIT DAN PENINGKATAN PERAN RI DI DUNIA




Latar Belakang
            Konferensi Bandung pada April 1955, yang sebelumnya didahului oleh Konferensi Kolombo pada April-Mei 1954 dan Konferensi Bogor pada Desember 1954, merupakan sebuah usaha membendung serangan hegemoni dari kedua belah pihak blok raksasa pemenang Perang Dingin, Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet serta merupakan tawaran alternatif non-militer bagi negara-negara berkembang Asia-Afrika.
            Konferensi Bandung ini merupakan turning point dalam sejarah dunia yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin terkenal negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika, yakni: Chou En-Lai, Ho Chi Minh, John Lionel Kotalawela, Mohammad Ali, Nasser, Nehru, Soekarno, U-Nu, dan lainnya. Hal tersebut karena Konferensi Bandung ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah dunia representatif dari negara-negara bekas koloni  menyatukan kekuatan dan tujuan mereka untuk bertahan terhadap kedua hegemon. Konferensi ini merupakan kelahiran dari apa yang sekarang disebut Third World Countries (negara-negara dunia ketiga), The New Emerging Forces, atau Development Countries.
            Pandangan dasarnya dari KAA adalah tak lain daripada pandangan dari prinsip non-konfrontatif (tidak campur tangan dalam urusan domestik masing-masing) dan prinsip persamaan dan kerjasama yang saling menguntungkan timbal balik. Kemudian toleransi ini berkembang menjadi Dasasila, “The Ten Bandung Principles the Promotion of World Peace and Cooperation”. Selain prinsip-prinsip “Peaceful Co-existence” tersebut, dalam Dasasila Bandung juga terdapat prinsip menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan serta asas dalam Piagam PBB; prinsip menyelasaikan perselisihan dengan jalan damai; prinsip menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional; serta menghormati hak bela diri secara sendirian atau secara kolektif. Kemudian KAA ini berlanjut ke dalam gerakan KTT non-Blok yang pertamakali dihelat di Beograd 1961 dan yang kedua di Kairo 1962 yang menghasilkan Komunike Final Bandung

Arti Strategis Konferensi Asia Afrika (1955) bagi Politik Luar Negeri RI
            Bagaimanapun sebagai pemrakarsa sekaligus tuan rumah dari KAA tersebut, berimbas pada prestise politik luar negeri Indonesia. Nama Indonesia mulai diperhitungkan dalam kancah internasional, terutama Asia dan Afrika.
            Konferensi Bandung, yang semula diilhami oleh garis politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif itu, kemudian mengilhami kelanjutan politik luar negeri Indonesia. Pertama-tama Indonesia berusaha menyempurnakan kemerdekaannya dengan cara membatalkan semua perjanjian hasil Konferensi Meja Bundar yang sangat merugikan Indonesia. Kemudian Indonesia melakukan tindakan-tindakan moneter terhadap Belanda dengan tidak mengakui dan tidak bersedia lagi membayar hutang kepada pihak Belanda. Menurut perjanjian MB Indonesia diharuskan membayar lebih dari 4000 juta Golden kepada Belanda sementara sebagian besar dari hutang-hutang tersebut dibuat oleh Belanda untuk membiayai agresi-agresi militernya terhadap Indonesia semasa Revolusi Fisik 1945-1950.
            Meningkatkatnya prestise Indonesia karena Konferensi Bandung dan disusul dengan suksesnya Pemilu I untuk DPR dan Majelis Konstituante, mendorong kedua negara adikuasa mengundang Presiden Soekarno. Kunjungan ke Amerika dilakukan pada bulan Mei-Juli 1956 sementara kunjungan kedua ke Uni Soviet dan negara blok timurnya pada Agustus-Oktober 1956. Rangkaian kedua perjalanan itu dimanfaatkan oleh Presiden Soekarno sebagai ajang berdiplomasi dalam pembebasan Irian Barat dan pembatalan perjanjian KMB secara sepihak, serta diplomasi di bidang finek guna mendapat bantuan untuk jalannya pembangunan dalam negeri dan menjelaskan dasar negara dan ideologi Indonesia yang bebas aktif.

Pengaruh Konferensi Asia Afrika terhadap Situasi Internasional
            Dalam periode ini terjadi tindakan Mesir yang menasionalisasikan Terusan Suez. Tindakan ini bertepatan dengan Indonesia yang membatalkan perjanjian KMB secara sepihak. Ketika masalah Terusan Suez ini dibawa oleh Inggris dan Dunia Barat ke forum Konferensi London pada Agustus 1956, Indonesia bersama-sama dengan India dan Srilangka turut berperan sebagai suatu bentuk rasa solidaritas terhadap Mesir. Maka tidak berlebihan jika gerakan tersebut dijustifikasikan sebagai suatu bentuk ilham yang ditancapkan oleh Semangat Bandung pada negara Asia Afrika.
            Selain itu terbentuk juga embrio Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) yang merupakan kerjasama perserta Konferensi Asia-Afrika berupa bantuan teknis dan usaha bersama untuk menstabilkan perdagangan komoditi berikut aksi bersama untuk menstabilkan harga dan permintaan komoditi primer, diversifikasi perdagangan ekspor melalui pengolahan, promosi perdagangan intraregional, jaminan transit bagi negara daratan (landlocked), masalah-masalah pelayaran umum (khususnya masalah ongkos pelayaran), serta pendirian bank regional dan perusahaan asuransi sudah masuk ke dalam Komunike Final Bandung. Namun pada kenyataannya saat ini tata ekonomi internasional yang berlaku lebih banyak dari merupakan warisan dari Bretton Woods dan GATT ketimbang TEIB hingga dapat dikatakan usaha dari negara-negara berkembang mengubah tata ekonomi internasional hingga sekarang pada dasarnya tidak efektif. TEIB, yang bersifat tidak realistik, gagal membagun dialog ekonomik antara negara berkembang degan negara industri.
            Namun demikian bukan berarti TEIB hilang tak berbekas. Setidaknya TEIB membawa perubahan dalam tahun-tahun ke depannya. Perubahan pertama adalah sejak TEIB lahir, banyak negara-negara yang masih terjajah berani melepaskan diri dari kolonialnya karena merasa perundingan tentang perubahan tata ekonomi internasional sudah lebih subur sebagai sebuah transaksi sesama yang berdaulat. Perubahan kedua adalah masalah realisme yang menguat mengenai sistem ekonomi, setiap bangsa tidak lagi harus memilih antara kapitalis dan realis sebab penyesuaian tata ekonomi sudah lebih bebas dari tempurung ideologis. Karena perubahan-perubahan tersebut, banyak negara berkembang yang prestasi perekonomiannya tidak bisa lagi diremehkan. Serta kecenderunan konsentrasi investasi asing langsung di negara-negara industri (kendati tidak relevan dengan TEIB) serta mengenai kemajuan teknologi yang memaksa negara berkembang terperangkap oleh dilema antara manusia dan mesin.

Simpulan dan pendapat
Melihat dari segala kontribusi yang diberikan oleh Konferensi Bandung dan cikal bakalnya, serta memahami interelasinya antara anatomi dan struktur kekuasaan dunia pada waktu itu, saya menyimpulkan bahwa sampai detik ini pun Semangat Bandung masih mengilhami sebagian besar masyarakat dunia, terutama negara-negara dunia ketiga. Relevansinya pun masih diakui kendati begitu banyak tantangan dan halangan yang adakalanya memudarkan semangat itu seperti halnya prinsip-prinsip TEIB yang membawa perubahan bagi dunia internasional kendati beberapa diantaranya terkesan kurang idealis dengan realita tata perekonomian dunia. Sekian.

Sumber:
Abdulgani, Roeslan. Sekitar Konperensi Asia-Afrika dan Maknanya bagi Politik Luar Negeri Indonesia
Simandjuntak, Djisman S. Bandung dan Evolusi Tata Ekonomi Internasional Baru

No comments:

Post a Comment