MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE
Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia (1998-1999) setelah lengsernya Soeharto dari jabatannya. Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda ini, harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung.
Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.Akan tetapi, Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara. Diantaranya, pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut. Dengan catatan positif atas beberapa kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian masyarakat internasional ini, Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik. Habibie mendapatkan kembali kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga tersebut memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi dimulai.
Keinginan Habibi mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah dimulainya di Industri pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dengan menjalankan program evolusi empat tahapan alih tehnologi yang dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal.
Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru. Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur. Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum. Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID
Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri). Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif sifatnya.
Pasca reformasi, ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, politik luar negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan oleh Soekarno pada masa orde lama, dimana lebih menekankan pada peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa pemerintahannya, politik internasional RI menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan RI dengan dunia Barat mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur. Salah satu yang paling menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI dengan Australia. Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi. Namun, sebagian besar kunjungan - kunjungannya itu tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Wahid berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar negeri Indonesia menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang telah dijalankan oleh Gus Dur menjadi sia-sia karena kurang adanya implementasi yang konkrit.
MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNO
Belajar dari pemerintah presiden yang sebelumnya, Megawati lebih memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama ini Komisi I DPR telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi Indonesia. Karena itu, Megawati mengupayakan sebuah "mekanisme kerja" yang lebih solid dengan Komisi I DPR sehingga diharapkan dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja bersama lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggung jawab atas dasar prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkan bipartisanship foreign policy yang berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.
Belajar dari pemerintah presiden yang sebelumnya, Megawati lebih memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama ini Komisi I DPR telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi Indonesia. Karena itu, Megawati mengupayakan sebuah "mekanisme kerja" yang lebih solid dengan Komisi I DPR sehingga diharapkan dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja bersama lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggung jawab atas dasar prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkan bipartisanship foreign policy yang berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.
Terlepas dari pentingnya politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu platform pemerintahan baru dalam membantu upaya pemulihan ekonomi dan stabilitas keamanan di dalam negeri, Megawati lebih memprioritaskan diri mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat di mana nasib ratusan ribu atau mungkin jutaan pengungsi dalam kondisi amat memprihatinkan. Dengan kata lain, anggaran Presiden ke luar negeri lebih diperhemat dan dialokasikan untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerah-daerah itu, tanpa harus mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu aspek penting penyelenggaraan pemerintah yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Menteri Luar Negeri. Dan yang lebih penting, untuk membuktikan kepada rakyat bahwa pemerintah Megawati memiliki sense of urgency dan sense of crisis yang belum berhasil dibangun pemerintahan sebelumnya.
Namun masa pemerintahan presiden Abdurachman Wahid mewarisi pemerintahan yang lemah dan diperburuk oleh kondisi keamanan yang tengah diambang separatism atau communal violence. Dan pada akhirnya Megawati sebagai presiden selanjutnya juga tak mampu membawa pemerintahan pada stabilitas yang lebih besar kendati perpolitikan Megawati pada masa pemerintahannya jauh memiliki temper serta filosofi politik yang jauh lebih berkualifikasi dalam menjalankan konsiliasi nasional dan kohesi daripada alternatif. Tapi sangat disayangkan ia tidak memiliki kemampuan untuk memaksa dan mengkohenren admistrasinya. Hasilnya adalah perbaikan ekonomi yang tak jauh lebih membaik dari sebelumnya
MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDOYONO
Bagaimanapun selama masa pemerintahan yang terdahulu SBY telah berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai opportunities.
Jika PLNRI yang diterjemahkan Bung Hatta adalah ‘bagaikan mendayung di antara 2 karang’, maka Pak Banto mengatakan bahwa PLNRI di masa SBY adalah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani 2 karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.
Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY. Ini dilihat pada: komitmen Indonesia dalam reformasi DK PBB, atau gagasan SBY untuk mengirim pasukan perdamaian di Irak yang terdiri dari negara-negara Muslim (gagasan ini belum terlaksana hingga kini).
Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI di masa SBY, yaitu:
· terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).
· terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan domestik dan perubahan-perubahan di luar negeri.
· ‘prakmatis kreatif’ dan ‘oportunis’, artinya Indonesia mencoba menjalim hubungan dengan siapa saja yang bersedia membantu dan menguntungkan pihak Indonesia.
· TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity, harmony, security, leadership, prosperity.
5 Hal dalam konsep TRUST ini kemudian menjadi sasaran PLNRI di tahun 2008 dan selanjutnya.
Pak Banto terlihat menilai sangat positif kinerja dari PLNRI SBY pada masa pemerintahannya yang terdahulu. Namun kemudian, ia pun menyebutkan sisi kekurangan dari PLNRI SBY. Menurut beliau, PLNRI SBY kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Di sini kita dapat melihatnya dari bertambah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Padahal, jika secara konseptual PLN disebut sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan domestik, seharusnya PLNRI bisa menjadi media penyelesaian masalah di dalam negeri. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap PLNRI SBY dengan sebutan: It’s about Image. Karena SBY berlaku hanya untuk memulihkan citra baik Indonesia di luar negeri, dan kurang memperhatikan ke dalam negeri.
SUMBER:
- http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/articles_index/idx.asp? (diakses pada 20 okt 2009 )
- http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi (diakses pada tanggal20 okt 2009) Copyright © 2002-2009
- Rabasa, Angel & Peter Chalk. 2001. Indonesia’s transformation and the stability of Southeast Asia. Arlington: RAND
DEVANIA ANESYA / 070810535
RIZKI RAHMADINI N / 070810510