Wednesday, August 3, 2011

MASALAH TIMOR TIMUR DAN POLITIK LUAR NEGERI RI


      
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.

Integrasi Timor Timur 1976
       Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.

Insiden Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.
Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, SebastiĆ£o Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan 'suatu penyimpangan'. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata, dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.





Jajak Pendapat 1999
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami  karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.
Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.[1]
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung.[2]  
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.[3] 
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Terkait hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di Timor Timur pada 1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat itu pada 1999 mengakui hasil jajak pendapat tersebut.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.
Analisis
Dalam pelaksanaannya, politik luar negeri Indonesia dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang berkembang sesuai dengan dinamika yang terjadi. Dinamika kondisi internal di Indonesia yang berpengaruh besar terhadap arah pelaksanaan politik luar negeri Indonesia antara lain ditandai dengan krisis ekonomi yang parah, di mana krisis ini dengan segera menjadi pemicu berbagai aksi unjuk rasa masyarakat, kerusuhan sosial, krisis kepercayaan, serta maraknya gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang berujung pada proses disintegrasi seperti yang terjadi pada kasus Timor Timur. Adanya perubahan dinamika kondisi internal tersebut telah memaksa pemerintah untuk menyesuaikan politik luar negerinya sesuai dengan tuntutan zaman bagi kepentingan nasional. Situasi sosial politik dan keamanan serta masalah ekonomi di tanah air juga menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar negeri.  Gerakan separatis yang mengarah pada pemisahan diri atau disintegrasi dari Indonesia harus dicermati agar pintu masuknya penjajah dalam rangka mengendalikan Indonesia dapat ditutup rapat-rapat. Dan jika dilihat pada kasus Timor Timur, terdapat upaya internasionalisasi konflik domestik yang pada akhirnya mengokohkan intervensi Negara-Negara asing untuk memisahkan wilayah konflik tersebut dari induknya, Indonesia. Sehingga di sini, politik luar negeri Indonesia ditujukan untuk menjaga kekuatan Indonesia, persatuan bangsa, serta stabilitas nasional.
Integrasi bangsa adalah landasan bagi tegaknya sebuah negara modern. Keutuhan wilayah negara amat ditentukan oleh kemampuan para pemimpin dan masyarakat warga negara untuk memelihara komitmen kebersamaan sebagai suatu bangsa. Karena itu, secara teoretik dipahami bahwa ancaman paling serius terhadap integrasi bangsa adalah disharmoni sosial, sedangkan ancaman paling nyata terhadap eksistensi wilayah negara adalah gerakan separatisme. Kedua ancaman itu sering kali bercampur baur. Karena, disharmoni sosial yang sudah meluas menjadi konflik yang mengambil bentuk kekerasan akan serta merta menarik garis-garis demarkasi teritorial. Penampakan garis-garis itu akan cepat menjadi jelas bila pihak-pihak yang terlibat konflik merupakan representasi dari komunitas-komunitas besar yang mendominasi wilayah-wilayah tertentu. Bila ini terjadi, maka proses disintegrasi wilayah yang dimulai oleh disintegrasi sosial akan secara simultan membawa bangsa itu ke jurang disintegrasi nasional, seperti halnya yang terjadi pada Timor Timur.
Berbicara tentang Timor Leste saat ini tak bisa lepas dari Timor Timur yang pada masa lalu menjadi provinsi termuda Indonesia. Hal ini sebanding dengan wacana tentang Indonesia yang sebelumnya merupakan koloni Hindia Belanda. Apa yang disebut sebagai Indonesia sebenarnya hasil ciptaan abad ke-20 yang belum ada pada masa penjajahan selama 350 tahun sebagaimana sering diucapkan Bung Karno. Artinya, sebutan itu bukan merupakan warisan leluhur yang tak tergali dari ingatan, tetapi sebuah penemuan politis yang menandai bangkitnya kesadaran suatu bangsa. Dengan kata lain, Indonesia menjadi sebuah nama yang mengungkap rasa kebangsaan di antara sesama nasionalis pergerakan yang ingin lepas dari penaklukan koloni Hindia Belanda. Koloni itulah yang wilayah-wilayahnya sempat ditaklukkan Belanda tahun 1850- 1910 dan disebut Van Sabang tot Merauke.
Di bawah bayang-bayang sebutan itu, kemerdekaan RI diproklamasikan. Sayang, proklamasi yang menghasilkan NKRI itu justru dipermalukan oleh pengambilalihan dan pendudukan Timor Timur 30 tahun kemudian. Bahkan, nasionalisme Indonesia yang setengah abad sebelumnya dibela dengan sumpah tritunggal suci—bahasa, bangsa, dan tanah air—kian terdera akibat kekalahan telak dalam jajak pendapat di bawah PBB pada Agustus 1999.
Dengan real politik semacam ini, dasar lepasnya Timor Timur dari Indonesia hampir sama dengan pengintegrasian daerah tak bertuan ke NKRI. Pasalnya, keduanya diputuskan hanya karena ”belas kasihan” terhadap wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Barat. Dalam bahasa psikologi politik diistilahkan dengan ”hubungan benci tetapi rindu”. Di satu pihak, Timor Timur ”milik” Indonesia yang harus dipertahankan, di lain pihak, teritorial itu dipandang sebagai ”negeri asing” yang tidak mungkin dapat hidup tanpa ikatan dengan Indonesia.
Dalam hubungan paradoks itu, masuk akal jika ada ”gejolak psikologis” amat besar saat para milisi yang mendapat dukungan penuh dari Indonesia terusir secara tidak menyenangkan dari negeri sendiri. Begitu pula dengan ABRI yang—sambil menahan malu—tergusur pasukan internasional penjaga perdamaian yang dipimpin Negeri Kanguru. Agaknya, inilah akibat politik dan kemanusiaan yang lolos dari pengamatan banyak pihak, termasuk PBB, yang menghasilkan bukan hanya kekacauan emosi dan keteledoran intelegensi, tetapi tragedi yang mendera kedua bangsa hingga kini.
Tentu cukup dipahami, segala kejengkelan, bahkan amarah, yang terpendam terhadap Timor Leste, tidak mudah dihapus dari ingatan. Namun, dengan mudah melupakan begitu saja apa yang pernah terjadi di sana sama dengan membalikkan punggung atas aneka kekejaman. Lugasnya, Timor Leste tetap merupakan bagian sejarah Indonesia yang layak ditulis sebagai pelajaran untuk melawan lupa. Jika tidak, jangan heran bila masih akan ada banyak orang yang bersedia bukan hanya melenyapkan nyawa orang lain, tetapi merenggut nyawa sendiri dengan rela akan dikerjakan.


Source:
  • http://www.mabesad.mil.id/artikel/170706timor.htm

  • http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/11/16/brk,20081116-146219,id.html

·         Downer, Alexander (Menteri Luar Negeri Australia). 2000. East Timor – looking back on 1999, Australian Journal of International Affairs, vol.54/1 , hal.5.

·         Richburg, Keith. 1999. Seven days in May that toppled a titan: back-room intrigue led to Suharto’s fall

·         Aspinall, E., Van Klinken, G., Feith, H. (eds), The last days of President Suharto(Monash University: Monash Asia Institute,  hal.70.

  • http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca…341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument


[1] Downer,Alexander (Menteri Luar Negeri Australia), 2000
[2] Keith Richburg. 1999. “Seven days in May that toppled a titan: back-room intrigue led to Suharto’s fall” , Aspinall, E., Van Klinken, G., Feith, H. (eds), The last days of President Suharto(Monash University: Monash Asia Institute,  hal.70.
[3] Utusan Khusus PBB untuk masalah HAM di Timor Timur (UN High Commissioner for Human Rights) melaporkan bahwa pembunuhan dan kekerasan di Timor Timur setelah referendum, terutama Dili, dilakukan oleh milisi pro integrasi yang diduga keras didukung oleh TNI. Laporan Utusan Khusus PBB tersebut bisa diakses di
http://www.unhchr.ch/huridocda/huridoca…341dfcda5b802567ef003d3101?OpenDocument

HUBUNGAN INDONESIA DENGAN NEGARA-NEGARA ASIA TENGGARA


RIZKI RAHMADINI N.       (070810510)
DEVANIA ANESYA             (070810535)
MEGA INDAH K                  (070810716)
YUGO DIANDIKA                          (070810097)
SUROTUL BAHIYYAH       (070710435)


            Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara yang masuk dalam ASEAN. Indonesia dikenal oleh Negara-negara lain sebagai negara sedang berkembang yang mempunyai andil dalam pembentukan ASEAN. Seiring dengan tujuan dari geopolitik, yaitu hegemoni. Indonesia sebagai negara yang memprakarsai berdirinya ASEAN tentunya akan berusaha mempertahankan hegemoni yang telah dibangun di Asia Tenggara.
Dengan semakin berkembangnya teknologi dan informasi yang ada di Indonesia, meskipun tidak sebaik dengan perkembangan teknologi dan informasi yang dimiliki oleh Singapura, setidaknya Indonesia masih memiliki pengaruh yang kuat di Asia Tenggara. Ditambah dengan kekuatan yang bersumber dari sektor demografi yang dimiliki Indonesia dan strategisnya posisi Indonesia dalam sektor ekonomi akan membuat posisi tawar menawar Indonesia semakin meningkat. Dan pada akhirnya Indonesia mampu merangkul semua negara ASEAN untuk melakukan kerjasama yang akan memberikan penilaian tersendiri dari negara-negara di Asia Tengara dalam mengukur kekuatan yang dimiliki Indonesia.

Indonesia-Malaysia
            Hubungan antardua negara Indonesia-Malaysia belum berlandaskan solidaritas yang saling mengerti dan menghargai perasaan nasional masing-masing. Hal ini dibuktikan dengan adanya serangkaian konflik antara Indonesia-Malaysia selama ini. Semakin hari, seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia, Malaysia merasa superior dibandingkan Indonesia dan rendah dalam memandang Indonesia.
Hubungan tak baik antara Indonesia dan Malaysia sudah dimulai sejak pembentukan negara Malaysia yang didukung oleh kolonialisme Inggris. Kala itu bergema slogan yang sangat kuat: Ganyang Malaysia. Indonesia pun siap mengerahkan segala sumber daya nasional mulai dari militer sampai kesenian untuk menghancurkan negara boneka imperialis Inggris: Malaysia.
Akan tetapi periode ini sudah berakhir: terjadi perubahan orientasi politik dan ekonomi di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa. Permusuhan dihentikan dan hubungan baik dijalankan. Keduanya bahkan aktif sebagai penjaga kawasan ekonomi dan politik di Asia Tenggara dan bergabung dalam ASEAN. Terlebih lagi dari segi kultur dan bahasa memang tak jauh beda antara Indonesia-Malasia. Walau begitu, selalu saja ada materi konflik yang dimunculkan dan juga terasa tak tuntas dalam penyelesaiannya. Meski berjiran, hubungan Indonesia dan Malaysia tak selalu mesra. Sebut saja persoalan tentang perebutan pulau Sipadan dan Ligitan sejak 1967, masalah TKI dan perebutan wilayah teritorial.
Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, ledakan-ledakan dalam skala lebih besar kembali mengusik hubungan Indonesia-Malaysia. Persoalan-persoalan yang belum tuntas pada masa Orba, menjadi pemicu ketegangan. Diawali dengan lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 oleh keputusan Mahkamah Internasional. Hubungan kedua negara yang diibaratkan dengan abang-adik ini pun kembali memanas. Seperti kita tahu, persoalan perebutan pulau Sipadan dan Ligitan diserahkan oleh Soeharto kepada Mahkamah Internasional pada 1997. Belum sembuh dari guncangan atas kehilangan dua pulau di atas, kembali Malaysia menyulut persoalan dengan mengklaim Ambalat sebagai wilayah teritorial mereka pada tahun 2005. Negeri Jiran ini mempersilahkan perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di laut Sulawesi. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas pulau itu. Slogan politik "Ganyang Malaysia" pun kembali populer.
Isu-isu berkaitan dengan nasionalisme selalu berhasil menaikkan tensi hubungan dua negara. Hal ini dapat dilihat pada kanyataan bahwa akhir-akhir ini hubungan Indonesia-Malaysia mulai terpicu oleh berbagai kasus lainnya yang lebih pada isu kemanusiaan, seperti Manohara, TKW (PRT) yang dianiaya majikannya di Malaysia, dan sampai masalah klaim Malaysia atas hasil seni budaya kita. Tak urung emosi publik pun semakin berkobar menanggapi rentetatan kasus tersebut, seolah menantang semangat “nasionalisme” rakyat yang cinta akan bangsanya. Upaya meredakan ketegangan antara Indonesia dan Malaysia yang sering terjadi pun merupakan hubungan formal yang belum mampu memperkuat dan memperluas hubungan interpersonal antarmasyarakat kedua negara.

Indonesia-Singapura
            Bila menilik sekelumit sejarah Singapura, keterhubungan Indonesia dengannya sangat erat. Tak hanya kedekatan secara geografis, akan tetapi kesejarahan yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Interaksi sejarah yang masih terkenang adalah pada saat peristiwa Ganyang Malaysia pada 1963. Singapura dan Brunei bergabung dengan Malaysia memerangi Indonesia. Akan tetapi, ketika terjadi kerusuhan antara China dan ras Melayu, Tengku Abdurrahman melepaskan Singapura supaya Melayu menjadi mayoritas di Malaysia. Bahkan diwartakan, kerusuhan rasial yang terjadi di Negeri Singa itu didalangi Jakarta.
Di era Soekarno, konfrontasi ini bermula. Atas nama menentang neokolonialisme, Soekarno berteriak. Fase historis selanjutnya dijalani oleh negara yang serumpun ini dengan berbagai jalinan hubungan kerja sama. Sama-sama perintis terbentuknya ASEAN, Singapura dan Indonesia memadu kasih dengan keserasian. Pada era Soeharto, nyaris tak ada konflik. Bahkan, bertahun-tahun di bawah kepemimpinan Soeharto,Singapura bebas melakukan latihan militer bersama. Pada masa orde baru yang panjang itu, hubungan kedua negara dimulai dengan saling curiga karena warisan lama dan ketakutan Indonesia untuk “diakali” oleh Singapura. Akan tetapi setelah lebih dari dua puluh lima tahun Indonesia membangun, akhirnya tumbuh hubungan yang didasarkan atas kesadaran kedua

belah pihak dan adanya sifat saling membutuhkan yang nampak dari banyaknya pembangunan proyek bersama dan besarnya investasi Singapura di Indonesia.
Semenjak krisis terjadi, berbagai peristiwa yang kurang menguntungkan telah mewarnai hubungan kedua negara, baik di masa presiden Habibie (munculnya istilah little red dot), maupun masa presiden Abdurrahman Wahid (pernyataan untuk menghentikan penyediaan air meskipun Indonesia tidak pernah menyuplai air untuk Singapura). Sedangkan dalam beberapa tahun terakhir, hubungan bilateral mereka cenderung membaik, meskipun juga diwarnai dengan berbagai kejadian dan peristiwa yang dapat mengganggu eratnya hubungan kedua negara. Sejak tampilnya pemerintahan baru di Indonesia dan Singapura pada tahun 2004, hubungan bilateral Indonesia-Singapura mengindikasikan perkembangan yang lebih positif dan saling konstruktif. Saling kunjung antar kepala pemerintahan kedua negara dan pejabat tinggi lainnya juga menunjukkan peningkatan yang signifikan. Indikasi positif ini juga telah mendorong pengembangan sektor kerja sama baru yang saling menguntungkan dan kemajuan upaya penyelesaian outstanding issues. Pertemuan informal presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Singapura, Lee Hsien Loong, di Bali pada Oktoer 2005 adalah untuk memenuhi usulan PM Singapura. Kedua kepala pemerintahan ini sepakat memparalelkan perundingan tiga perjanjian kerja sama yaitu perjanjian kerja sama pertahanan, perjanjian ekstradisi, dan perjanjian counter-terrorism.

Indonesia-Vietnam
Hanya sedikit bangsa-bangsa di dunia yang kemerdekaannya diperoleh dengan perjuangan bersenjata dan diplomasi. Dua di antaranya adalah Indonesia dan Vietnam. Wajar jika pada masa pemerintahan kedua Bapak Bangsa, terjadi hubungan “emosional” antara Indonesia (di bawah Soekarno) dengan Vietnam (di bawah Ho Chi Minh).
Hubungan diplomatik RI-Vietnam ditandai dengan pembukaan Konsulat RI di Hanoi pada 30 Desember 1955, yang selanjutnya ditingkatkan menjadi Kedutaan Besar RI pada 10 Agustus 1964. Hubungan RI-Vietnam memasuki tataran baru dengan ditandatanganinya "Declaration on the Framework of Friendly and Comprehensive Partnership Entering the 21st Century” pada saat kunjungan resmi Presiden RI Megawati Soekarno Putri ke Hanoi, 25-27 Juni 2003. Kedua negara telah menyepakati untuk menyusun Plan of Action (PoA) Deklarasi Kemitraan Komprehensif RI-Vietnam yang berisikan arah dan sasaran hubungan bilateral kedua negara.
Berdasarkan data statistik Departemen Perdagangan RI, nilai perdagangan bilateral RI-Vietnam pada bulan Januari-Desember 2008 berjumlah US$ 2,390 milyar. Kementerian Perdagangan Vietnam telah menargetkan ekspor Vietnam ke Indonesia pada tahun 2010 mencapai US$ 1,75 milyar.
Dalam rangka meningkatkan kerjasama budaya pun, Vietnam bersama-sama dengan Myanmar, Kamboja, Laos dan Thailand juga telah ikut berpartisipasi pada serangkaian kegiatan bertajuk “Cultural Heritage Tourism Cooperation – Trail of Civilization” yang diadakan Indonesia di Yogyakarta, 28-30 Agustus 2006. Pertemuan tersebut menghasilkan Borobudur Declaration dan Borobudur Plan of Action. Deklarasi dimaksud diharapkan dapat meningkatkan kerjasama pariwisata, khususnya dalam hal wisata religi Agama Budha.

Pemecahan Masalah Kamboja
Pecahnya konflik antara Hun Sen dan Norodom Ranaridh bukan merupakan sebuah kejutan. Hal tersebut telah dapat diperkirakan ketika keduanya diangkat menjadi perdana menteri I dan II Kerajaan Kamboja sesuai dengan hasil pemilu 1993. Keduanya berbeda visi mengenai masa depan Kamboja dan diakhiri dengan konflik bersenjata yang terjadi pada tanggal 2 dan 5 Juli 1997 di bawah kemenangan Hun Sen.
Kendati bentrokan bersenjata sudah mereda, masih terdapat potensi konflik. Pertemuan khusus menteri luar negeri ASEAN pada 10 Juli 1997 memutuskan untuk menunda keanggotaan Kamboja dalam ASEAN. Mereka juga menetapkan bahwa negara-negara ASEAN siap untuk untuk membantu usaha penyelesaian damai persengketaan di Kamboja kendati belum dapat memutuskan apakah pengambilan kekuasaan yang dilakukan Hansen adalah ilegal.
Masalah hubungan Kamboja dan Thailand yang tengah memanas saat ini menurut juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, merupakan masalah diplomatik yang biasa terjadi dalam hubungan bertetangga. Indonesia, sebagai salah satu pendiri ASEAN, mengusulkan bahwa keduanya akan menemukan jalan tengah terhadap permasalahan tersebut tanpa konfrontasi sebagai sesama anggota negara ASEAN.
Masalahnya adalah Kamboja setelah penyelesaian berdasarkan persetujuan Paris dan Peilihan Umum 1993 sudah dianggap sebagai negara berdaulat. Maka permintaan ASEAN terhadap Indonesia dan Prancis sebagai mantan ketua bersama konferensi internasional tentang Kmboja, jelas mengindikasikan lemahnya penerapan kebijakan ASEAN tentang non-inervensi diantara negara-negara ASEAN sendiri sebab permintaan intervensi harus didasarkan oleh permintaan kepala negara itu sendiri, Raja Sihanouk dan Hansen sebagai Perdana Menteri.
Disinilah Indonesia dituntut menunjukkan sikap tegas dalam mempertahankan credo non-intervensinya agar tidk terjerumus dalam sengketa permasalahan politik Kamboja sementara negara tersebut tidak memintanya. ASEAN seharusnya juga meyakinkan negara-negara ASEAN yang memiliki kepentingan atas Kamboja untuk mempertahankan kebijakan non-intevensi ASEAN terhadap Kamboja. Sebab akan membuka kesempatan negara-negara lain dalam melakukan campur tangan dengan kemelut politik negara-negara lainnya yang justru dapat menyulitkan negara itu dalam mempertahankan dan meningkatkan persatuan dalam negerinya.

Analisis
Pada dasarnya, hubungan Indonesia dengan negara-negara ASEAN amat ditentukan oleh kondisi Indonesia sendiri, yaitu tentang bagaimana kondisi perekonomian, budaya, dan kemanan Indonesia, di mana kondisi-kondisi tersebutlah yang menentukan bagaimana sikap Indonesia terhadap Negara-negara ASEAN, apakah saling melakukan kerja sama, atau bahkan konfrontasi, dan sebagainya.  Hanya Indonesia yang kuat yang dapat memaksakan bangsa-bangsa lain untuk peduli dan menghormati legalitas dalam hubungannya dengan Indonesia sehingga terwujud hubungan yang harmonis. Selama Indonesia kacau, lemah, kurang mampu baik moral dan material, dan rakyatnya kurang pendidikan, miskin dan mudah diperdaya serta disuap dalam segala bidang, bangsa-bangsa itu memandang hubungannya dengan Indonesia terutama dari sudut bagaimana memperoleh keuntungan maksimal dari kelemahan Indonesia itu.
Namun, terlepas dari semua itu, Indonesia pada dasarnya berusaha menjalin hubungan baik dengan Negara-negara tersebut dengan menciptakan kerja sama, saling mendukung, menghormati, dan menghargai, serta saling memelihara perdamaian. Indonesia, seperti halnya negara-negara lain, tidak akan bisa memenuhi kebutuhan atau kepentingan negaranya tanpa bantuan dari negara lain, baik dalam segi ekonomi, keamanan, dan sebagainya. Oleh karena itu, Indonesia pun berusaha bagaimana agar kepentingan negaranya tersebut dapat terpenuhi dengan mengadakan hubungan yang baik dengan Negara-negara ASEAN

Sumber
§     http://www.chinhphu.vn
§     The Jakarta Post.2003. RI and Singapore’s Trade. 12 Juni
§     Yew, Lee Kuan. 2000. From Third World to First, The Sigapore Story: 1965-2000. Singapore: Singapore Press Holding
§     Kompas.1997.Kamboja Sekali Lagi. 2 Agustus
§     Leo Suryadinata. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES

HUBUNGAN INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DAN TIMUR TENGAH


Selain mengadakan hubungan dengan lingkup regional, misalnya negara ASEAN dan negara-negara besar seperti Cina dan Amerika Serikat, Indonesia pun juga mengadakan hubungan dengan negara-negara lain seperti Australia dan Timur Tengah.
            Mengenai hubungan Indonesia dengan Australia, hubungan keduanya telah lama terjalin sejak tahun 1942 ketika Belanda menjadikan Australia sebagai tempat pengasingan tawanan dari Tanah Merah, Indonesia. Australia yang mengetahui hal tersebut spontan mendukung agar  tawanan itu dibebaskan. Sayangnya, awal yang baik tersebut tidak membawa arti pada masa perebutan Irian Barat, masa konfrontasi Indonesia-Malaysia, dan juga masa integrasi timor Timur yang kemudian terlepas dari Indonesia di tahun 1999. Hal ini karena kedua negara tersebut memiliki kepentingan yang berbeda terhadap ketiga isu tersebut. Namun kendati begitu banyak ketegangan yang terjadi diantara  keduanya, Indonesia-Australia telah memutuskan untuk terus menjalin kerjasama yang saling menguntungkan untuk ke depannya.
            Sementara itu hubungan Indonesia dan negara-negara Timur Tengah, yang diwarnai oleh ikatan emosional sebagai sesama negara dengan mayoritas penduduk memeluk agama Islam, semakin menguat pasca isu terorisme yang digembar gemborkan oleh Amerika Serikat. Namun cukup disayangkan, dalam perjalanan ke depan Indonesia masih belum mampu memanfaatkan ikatan emosional di antara mereka untuk kemaslahatan bersama diantara kedua pihak.

Hubungan Indonesia dan Australia
            Hubungan antara Indonesia dan Australia telah berlangsung sejak tahun 1942 ketika Jepang mulai menjajah Indonesia dan pemerintah Kolonial Belanda menjadikan Australia sebagai tempat pengasingan bagi tawanan di Tanah Merah. Ketika seorang tawaan berhasil menyampaikan surat yang berisi penjelasan maksud Belanda dalam meminta bantuan masyarakat Australia kepada salah seorang pegawai kereta api, Australia menanggapi dengan cepat melalui kampaye bersemangat semi pembebasan para tawanan ini. Dan sesudah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Serikat Buruh Indonesia menekan Pemerintah Australia agar mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan Australia pun menjadi salah satu dari negara-negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.
           
Namun antara tahun 1959-1962 terjadi ketegangan hubungan antara Indonesia dan Australia. Saat itu Australia berpihak pada pemerintah Belanda selama perjuangan Indonesia menentang pemerintahan Belannda di Irian Barat. Pada saat itu partai komunis Indonesia menguat dan ada kekhawatiran pihak Australia bahwa integrasi Nugini Barat itu akan dijadikan momen bagi Indonesia untuk memperluas pengaruh komunisme. Namun di tahun yang sama dari keputusan PBB yang menyatakan Irian Jaya sebagai provinsi Indonesia yang ke-26, 1962, Australia mengakui Irian Jaya sebagai bagian integral dari republik Indonesia.
Begitu pula dalam rentang antara tahun 1963-65 terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Australia yang waktu memiliki hubungan yang penting dalam hubungan militer dan pendidikan dengan Malaysia itu terus mendukung Malaysia dan semakin mengkhawatirkan perkembangan komunisme di Indonesia serta penndekatan yang dilakukan Soekarno kepada Uni Soviet demi melawan Malaysia. Akhirnya tentara Australia, yang mendukung Pemerintah Malaysia, terlibat dalam pertempuran dengan tentara Indonesia di Borneo (sekarang Kalimantan). Masalah tersebut di atas terpecahkan dengan adanya kudeta yang gagal di Indonesia pada tahun 1965, dan dengan diangkatnya President Soeharto sebagai pemimpin. Sesudah tahun 1965 hubungan antara Australia-Indonesia mulai berkembang lagi, dan menjelang tahun 1967 Australia memberikan dana bantuan untuk membantu membangun kembali ekonomi Indonesia. Masa Pemerintahan Orde Baru di Indonesia merupakan suatu masa berkembangnya hubungan antara Australia-Indonesia.
Awal 1970-an Indonesia telah menjadi tujuan utama wisata bagi orang Australia. Penerbangan Garuda, Qantas, Sempati dan Merpati mengangkut penumpang dari Australia ke Indonesia dan sebaliknya. Australia telah menjadi sumber wisatawan yang penting bagi Indonesia. Bali merupakan propinsi yang paling dikenal. Ada sebuah lagu populer di Australia berjudul "I've been to Bali too" (Saya juga pernah ke Bali). Namun hal ini sempat meredup ketika terjadi peristiwa bom Bali I yang menewaskan banyak korban.
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia. Peristiwa-peristiwa ini telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan Australia-Indonesia dalam jangka pendek tersebut. Namun, kedua negara telah sepakat untuk terus membangun hubungan yang saling menguntungkan.
Kemudian setelah itu kerja sama antara Pemerintah Australia-Indonesia dan hubungan antara kedua bangsa semakin ditingkatkan. Pemerintah kedua negara bekerja keras untuk membina saling pengertian antara bangsa Indonesia dan Australia. Sehubungan dengan hal tersebut, sedang dikembangkan hubungan yang lebih akrab dalam perniagaan, politik, pendidikan, kesenian, media dan komunikasi, olahraga dan profesi. Maka dibangunlah Lembaga Australia-Indonesia pada tahun 1989 yang bertujuan untuk ikut mengembangkan hubungan yang stabil antara kedua negara, memberikan informasi kepada kedua negara mengenai keanekaragaman budaya di masing-masing negara, serta pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, media, perniagaan, dan juga olah raga. Hasilnya adalah sejak tahun 1991, jumlah orang Indonesia yang mengunjungi Australia telah meningkat rata-rata 55% setiap tahun. Sekarang Australia menjadi tujuan wisata yang semakin populer bagi wisatawan Indonesia. Lebih dari 106.000 orang Indonesia yang mengunjungi Australia di tahun 1994/1995. Kebanyakan orang-orang ini berkunjung sebagai bagian dari suatu kelompok orang yang sedang berlibur. Tujuan utama bagi orang Indonesia yang mengunjungi Australia adalah untuk berlibur, melanjutkan pendidikan, dan untuk berniaga.
Seiring dengan berjalannya waktu Indonesia menjadi mitra dagang yang berharga bagi Australia. Ekonomi Industri Indonesia yang berkembang pesat dan tenaga kerja yang besar, digabung dengan teknologi tinggi Australia dan sumber daya alamnya telah memberikan banyak peluang usaha. Perdagangan dua-arah telah meningkat menjadi 25, 2% selama tahun 2000-2002. Lebih dari 400 perusahaan Australia sedang melakukan perniagaan di Indonesia, mulai dari usaha pertambangan sampai telekomunikasi. Perusahaan-perusahaan ini bekerja sebagai mitra dagang dengan perusahaan dan pemerintah Indonesia. Bidang terbaru dalam perdagangan yang semakin meningkat tersebut adalah bidang jasa. Australia menyediakan berbagai ragam jasa bagi usaha perniagaan di Indonesia. Beberapa dari jenis jasa yang disediakan oleh perusahaan Australia mencakup: jasa perbankan dan keuangan, pendidikan dan pelatihan, perencanaan perkotaan, dan rancangan arsitektur.
Pada tahun 2001–02 Australia menyediakan bantuan pembangunan kepada negara-negara lain sejumlah 1,725 juta dolar Australia. Indonesia akan menerima kira-kira 7,04% dari dana bantuan ini, yang berjumlah 121,5 juta dolar, melalui Program Kerjasama Pembangunan. Banyak sumbangan Australia yang diarahkan ke Indonesia bagian timur, terutama ke Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya sebab daerah-daerah ini merupakan daerah yang paling miskin dan paling ketinggalan di Indonesia. Kebanyakan bantuan Australia berbentuk program pendidikan dan pelatihan. Dalam sektor pendidikan di Indonesia, Australia menyediakan program beasiswa yang terbesar.
Selain itu pada tahun 1996 Australia dan Indonesia membuat Perjanjian Pertahanan Keamanan. Perjanjian tersebut dibuat karena kedua negara ingin memperkuat persahabatan yang ada di antara keduanya. Perjanjian itu juga mengakui pentingnya jaminan perdamaian dan stabilitas kawasan sebagai cara untuk menjamin adanya pembangunan ekonomi dan kesejahteraan bagi kedua negara.
Kedua negara menyepakati bahwa:
-          para menteri negara akan secara tetap berkonsultasi mengenai masalah-masalah keamanan;
-          mereka akan saling berkonsultasi jika terjadi tantangan yang sifatnya bermusuhan terhadap kepentingan keamanan bersama, dan mempertimbangkan tindakan individual atau tindakan bersama yang mungkin diambil; dan,
-          mereka akan bekerjasama dalam masalah-masalah keamanan.
-          Perjanjian ini mulai berlaku sejak tanggal 15 Juli 1996.
Perjanjian ini tidak berlaku terhadap komitmen internasional yang ada pada kedua negara. Perjanjian itu juga didasarkan atas kesepakatan mengenai perlunya menghormati kedaulatan, kemandirian politik, dan integritas kawasan bagi semua negara

Hubungan Indonesia dengan Timur Tengah
Hubungan antara Indonesia dengan Mesir semakin baik, dengan dibukanya perwakilan RI di Mesir dengan menunjuk HM Rasyidi sebagai Kuasa Usaha. Perwakilan tersebut merangkap sebagai misi diplomatik untuk seluruh negara-negara Liga Arab. Hubungan yang makin erat ini memberi kontribusi besar kepada Indonesia, ketika terjadi perdebatan Indonesia di forum Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB yag membicarakan sengketa Indonesia-Belanda, para diplomat Arab dengan gigih mendukung Indonesia.
Presiden Sukarno pun membalas pembelaan negara-negara Arab di forum Internasional dengan mengunjungi Mesir dan Arab Saudi pada Mei 1956 dan Irak 1960. Pada 1956, ketika Majelis Umum PBB memutuskan untuk menarik mundur pasukan Inggris, Prancis dan Israel dari wilayah Mesir, Indonesia mendukung keputusan itu dan untuk pertama kalinya mengirim Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB ke Mesir yang dinamakan dengan Pasukan Garuda I.
Indonesia yang telah megikat hubungan harmonis sejak dulu dengan negara Tim-Tengah. Kencangnya isu terorisme yang banyak digembor-gemborkan AS, membuat investor-investor dari Tim-Tengah mengalihkan investasinya ke negara lain. Pengalihan ini di prioritaskan kepada negara yang terutama negara yang bermayoritas memeluk Islam. Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, lebih menjadi sorotan negara Tim-Teng dibandingkan dengan negara-negara lain. Seperti, Malaysia, Thailand, Vietnam dll.
Reputasi Indonesia di bidang percaturan politik internasional juga mempunyai posisi yang terhormat, misalnya ketika menjadi inisiator Konferensi Asia-Afrika tahun 1955. Indonesia, bersama India. Mesir dan Yugoslavia menajdi pelopor berdirinya Gerakan Non-Blok. Selain itu juga, potensi alam Indonesia yang kaya dengan bahan mentah dapat diolah menjadi komoditi perdagangan ke Tim–Teng, karena lebih dari 70 persen kebutuhan negara-negara tersebut dari impor.
Hubungan yang sudah terjalin sudah lama, hubungan ini sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk meraih kerja sama dalam bidang perdagangan maupun untuk mendapatkan hibah dan bantuan kemanusian. Aplikasi dari hubungan ini terlihat ketika Menteri Perdagangan dan Industri Kuwait berkunjung ke Indonesia tahun 2000, ia menyatakan akan tetap menanamkan investasinya sebesar 1,2 milyar dolar AS, untuk menolong keluar Indonesia dari krisis.
Selain itu juga, Indonesia memiliki kekuatan transaksi keuangan yang jumlah bertriliun-triliun rupiah terhadap suatu negara yang berada di Tim-Teng, yaitu suatu transaksi yang terkait dengan penyelenggaraan haji tiap tahun. Pada tahun 2006 Indonesia memberangkatkan sekitar 205.000 jama’ah haji. Jika biaya haji sekitar 2.577,00 dolar AS, maka dana yang terkumpul adalah sekitar 528.285.000,00 dolar AS atau Rp 4.860.222.000.000,00. Dari jumlah tersebut akan menjadi devisa Arab Saudi dalam bentuk living cost, akomodasi, konsumsi di Airport King Abdul Aziz dan Madinah, dan biaya-biaya lainnya.
Namun demikian, masih banyak kekurangan-kekuarangan khususnya dari pihak Indonesia sendiri. Seperti halnya yang diungkapan oleh Alwi Sihab Mantan Menko Kesra “Hubungan dagang Indonesia dengan Tim-Teng memiliki beberapa kelemahan, yaitu pendekatan yang masih rendah dan pengusaha Indonesia lebih berorientasi ke Amerika Serikat, Eropa dan Jepang”. Kurangnya pendekatan dan menyepelekan pasar Tim-Teng mengakibatkan beberapa pengusaha Arab mengalihkan pandangannya ke Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina.

Analisis
Hubungan bilateral Indonesia dan Australia tergolong hubungan yang sangat unik, di satu sisi menjanjikan berbagai peluang kerjasama namun di sisi lain juga penuh dengan berbagai tantangan. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai perbedaan menyolok diantara kedua negara dan bangsa bertetangga, yang terkait dengan kebudayaan, tingkat kemajuan pembangunan, orientasi politik yang mengakibatkan pula perbedaan prioritas kepentingan. Tidak dipungkiri, perbedaan-perbedaan tersebut akan menciptakan berbagai masalah yang akan selalu mewarnai hubungan kedua negara di masa-masa mendatang. Masa Pemerintahan Orde Baru di Indonesia merupakan suatu masa berkembangnya hubungan antara Indonesia dengan Australia. Akan tetapi ketika terjadi pemisahan Timor Timur dari Indonesia pada 1999, hubungan kembali memanas. Indonesia menganggap bahwa lepasnya Timor Timur dikala itu akibat dari turut campur Australia. Namun, setidaknya beberapa tahun terakhir ini hubungan kedua negara semakin membaik. Kedua negara meningkatkan pelaksanaanan pertemuan bilateral dalam suasana baik dan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan untuk melanjutkan kerjasama kedua negara agar semakin berjalan baik, semakin kuat dan terus berkembang. Beberapa hal yang dibahas dalam pertemuan bilateral tersebut antara lain mengenai kerja sama ekonomi, pendidikan, climate change, pertahanan dan keamanan, serta kerja sama bilateral untuk mengatasi krisis energi dan krisis pangan.
Sementara itu negara Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam, memiliki hubungan emosional yang tinggi dengan kawasan Timur Tengah yang notabanenya identik dengan Islam.   Hubungan antara Indonesia dengan kawasan Timur Tengah, sudah terjalin ratusan tahun yang lalu ketika Islam menyebarkan ajarannya ke seluruh pelosok Bumi yang banyak dilakukan oleh para pedagang muslim, baik mereka yang berbangsa Persia, Arab, maupun India (Gujarat). Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, lebih menjadi sorotan negara Timur Tengah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti, Malaysia, Thailand, Vietnam, dll. Di samping itu, dapat dikatakan bahwa ada empat alasan mengapa Timur Tengah begitu familiar dan penting bagi Indonesia. Yang pertama yaitu bahwa Timur Tengah merupakan wilayah tempat turunnya agama-agama samawi, khusunya islam. Kedua, Timur Tengah adalah wilayah kaya minyak sehingga secara ekonomis lebih kuat dan kaya dari Indonesia. Ketiga, orang-orang kaya di Timur Tengah perlu tenaga kerja nonformal terutama pembantu rumah tangga dari Indonesia. Keempat, Timur Tengah menarik perhatian karena merupakan wilayah konflik Palestina-Israel. Keempat alasan diatas perlu dijadikan pijakan oleh bangsa Indonesia dalam membangun hubungan diplomatik dengan negara-negara Timur Tengah untuk kemaslahatan bersama diantara kedua pihak.

Source:
http://www.indonesia.go.id/ diakses pada tanggal 24 November 2009 pada jam 21.00

http://internasional.kompas.com/read/xml/2009/02/21/16301484/konferensi.sydney.perkuat.hubungan.indonesia-australia diakses pada tanggal 24 November 2009 pada jam 21.00

Australia: Investigasi Balibo Tak Ganggu Hubungan dengan Indonesia, harian TEMPO, interaktif, internasional. Kamis, 10 September 2009

Hanvitra, Randy Ramadhani. 2009. Menyoal Hubungan Indonesia dan Timur Tengah. Diakses dari www.unisosdem.org  pada tanggal 23 November 2009 pada jam 14.25 WIB

Hubungan antara Australi dan Indonesia,  Australia-Indonesia Institute. Diakses dari http://www.dfat.gov.au/aii/publications/bab11/html pada tanggal 23 November 2009 pada jam 14.23 WIB