Thursday, June 23, 2011

STRATEGI DAN TAKTIK DISTRIBUTIVE BARGAINING


Di jurnal sebelumnya kita membicarakan mengenai bagaimana seseorang mendapatkan give and take ketika sedang bernegosiasi maka jurnal kali ini akan membicarakan mengenai situasi bargaining distributive (dapat pula disebut kompetitif, win-lose, bargaining). Dalam situasi bargaining distributive tujuan dari suatu pihak biasanya mendasar dan konflik langsung dengan tujuan-tujuan pihak lainnya. Sumber daya tetap dan terbatas, dan kedua pihak ingin memaksimalkan share mereka. Sebagai hasilnya, masing-masing pihak akan menggunakan serangkaian strategi dalam memaksimalkan share mereka agar outcome mereka tercapai. Strategi yang paling utama adalah untuk menjaga informasi dengan sebaik-baiknya – suatu pihak memberikan informasi pada pihak lainnya hanya jika ketika hal tersebut akan menghasilkan keuntungan strategis. Sementara itu sangat diharapkan untuk memperoleh informasi dari pihak lain demi mengembangkan kekuatan bernegosiasi. Distributive bargaining pada dasarnya mmerupakan sebuah kompetisi atas siapakah yang paling mampu mendapatkan sumber daya yang terbatas, yang sering diartikan sebagai uang. Mampu tidaknya satu atau dua pihak dalam meraih tujuan mereka akan tergantung pada strategi dan taktik yang mereka gunakan. Dalam sebagian besar strategi dan taktik distributive bargaining adalah apa yang diperbincangkan dalam negosiasi.
Ada beberapa alasan mengapa setiap negosiasi begitu familiar dengan distributive bargaining. Pertama, penegosiasi akan menghadapi semacam situasi interdependen yang distributive dan – untuk bekerja dengan baik terhadap mereka – mereka harus memahami bagaimana cara kerja mereka. Kedua, karena begitu banyak orang yang menggunakan strategi dan taktik distributive bargaining secara ekslusif, semua penegosiasi perlu memahami bagaimana menghadapi efek mereka. Ketiga, setiap situasi negosiasi memiliki potensi dalam penggunaan keahlian distributive bargaining dalam fase claiming value.
            Kedua pihak yang bernegosiasi harus menentukan poin awal mereka, target, dan juga resistensi sebelum memulai sebuah negosiasi. Poin awal sering berada dalam pernyataan pembuka yang masing-masing pihak adakan. Poin target biasanya dipelajari atau terpengaruhi tepat ketika negosiasi terproses. Biasanya orang menyerah pada margin diantara poin awal dan poin target tepat ketika mereka melakukan konsesi. Poin  resistensi, poin antara ketika seseorang tidak akan melanjutkan dan akan memilih untuk menghentikan negosiasi, tidak diperlihatkan pada pihak lain dan seharusnya dirahasiakan. Rentang antara poin resistensi tersebut disebut dengan bargaining range, settlement range, atau zone of potential agreement. Dalam area ini bargaining yang sebenarnya akan terjadi dan apapun di luar poin ini akan telak ditolak oleh salah satu penegosiasi.
            Dalam beberapa negosiasi ada dua pilihan fundamental: pertama, mecapai kesepakatan dengan pihak lain dan kedua, tidal melakukan kesepakatan apapun.
Strategi Fundamental
            Tujuan utama dalam distributive bargaining adalah untuk memaksimalkan nilai dari kesepakatan tertentu. Mulanya kita harus menemukan poin resistensi pihak lawan, kemudian menekan atau bahkan memanipulasi poin tersebut.
            Dalam menemukan poin resistensi pihak lawan, kita harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Semakin kita mempelajari target, poin resistensi, motivasi, perasaan percaya diri, dan sebagainya dari pihak lawan, semakin mungkin bagi kita untuk melakukan persetujuan yang menguntungkan. Dan di saat yang bersamaan pula kita tidak ingin pihak lain memiliki informasi tentang kita. Masalahnya adalah pihak lawan pun menginginkan hal yang serupa. Oleh karena itu komunikasi seringkali menjadi kompleks.
Kemudian pusat dari strategi dan taktik bagi distributive bargaining terletak pada poin resistensi pihak lawan dan hubungan resistensi tersebut dengan resistensi kita. Poin resistensi ditekankan oleh nilai yang diharapkan dari sebuah outcome tertentu yang sebagai akibatnya, produk berharga dan biaya dari outcome. Berikut propoisisi mayor yang menjelaskan bagaimana faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi proses distributive bargaining:
1.      Semakin tinggi perkiraan pihak lawan akan biaya penundaan atau kebuntuan, cenderung semakin kuat poin resistensi lawan.
2.      Semakin tinggi perkiraan pihak lawan akan biaya penundaan atau kebuntuan dirinya, cenderung semakin lemah resistensi mereka.
3.      Semakin rendah pihak lawan dalam menilai suatu isu, cenderung semakin rendah pula poin resistensi mereka.
4.      Semakin pihak lawan yakin bahwa pihak kita menganggap penting sebuah isu, semakin rendah pula kemungkinan resistensi mereka
Tactical task
            Berdasarkan strategi fundamental distributive bargaining ada empat tactical task mengenai target, poin resistansi, dan biaya mengakhiri negosiasi untuk sebuah negosiasi dalam sebuah situasi distributive bargaining untuk menentukan: (1) menilai target pihak lain, poin resistansi, dan biaya mengakhiri negosiasi, (2) mengatur pemikiran pihak lain dalam target penegosiasi, poin resistansi, serta biaya mengakhiri negosiasi, (3) memodifikasi persepsi pihak lain ke dalam target, poin resistensi, dan biaya mengakhiri negosiasi kita sendiri, (4) memanipulasi biaya sebenarnya dalam menunda atau mengakhiri negosiasi. 
Posisi yang diambil selama bernegosiasi
            Saat negosiasi dimulai, penegosiasi akan berhadapan dengan sebuah masalah yang membingungkan. Bagaimana opening yang seharusnya/ apakah peawarannya terlalu rendah atau tinggi bagi penego lainnya ataukah ia akan ditolak begitu saja? Atau semacamnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sedikit jelas ketika penego belajar lebih tentangan batasan pihak lawan dan merancang strategi. Meskipun pengetahuan mengenai pihak lawan memberi bantuan bagi penego untuk mengatur penawaran pembuka, ia tidak memberitahu secara tepat apa yang harus dilakukan.
            Keputusan kedua yang harus dibuat adalah mengenai perilaku dan sikap selama negosiasi. Apakah akan bersikap kompetitif atau moderat.
            Dalam sebuah penawaran awal ada kalanya kita bertemu dengan penawaran kembali, kedua penawaran ini merupakan awal dari bargaining range. Ada kalanya pula mereka tidak melakukan penawaran kembali tetapi memberikan pernyataan bahwa penawaran pihak pertama tidak dapat diterima dan meminta pembuka untuk datang kembali dengan proposal yang lebih beralasan. Peran “pemberian” di sini adalah pusat dari negosiasi. Tanpanya negosiasi tidak akan ada. Orang-orang melakukan negosiasi karena menginginkan “pemberian”. 
            Kemudian pola dalam konsensi menciptakan informasi yang berharga bagi penego meski tidak selalu mudah untuk diinterpretasikan. Generalisasi ini tetap perlu diukur, bagaimanapun juga, dengan catatan bahwa di akhir-akhir konsensi masih ada ruang gerak tersisa untuk menciptakan penawaran baru.. Dan dalam pada akhirnya para penego akan melakukan penawaran terakhir yang merupakan penawaran final.
Menutup perjanjian
            Setelah bernegosiasi dalam beberapa waktu, dan mempelajari kebutuhan pihak lain, posisi, dan mungkin poin resistansinya, tantangan selanjutnya adalah bagaimana menutup sebuah negosiasi. Berikut ada beberapa taktik yang tersedia:
1.      Dengan menyediakan aternatif (daripada menciptakan satu penawaran final saja).
2.        Assume the Close. Teknik yang memperlakukan pihak lawannya seakan-akan ia telah menerima penawaran.
3.      Memilah Perbedaan (menggunakan taktik hard ball). Penego biasanya memberikan ringkasan singkat dari negosiasi.
4.      Penawaran Ledakan. Sebuah penawaran yang di dalamnya berisi deadline yang sangat ketat untuk menekan pihak lawan agar setuju dengan sangat cepat.
5.      Pemanis. Penego biasanya menawarkan penawaran special di akhir negosiasi agar pihak lawan menyetujuinya.
Taktik hardball
            Berikut adalah beberapa tipe taktik ini:
1.      Good Cop/Bad Cop. Satu pihak akan menjadi pihak yang kasar dan satu pihak lainnya akan menjadi pihak yang baik. Dan ketika pihak yang kasar itu tidak sedang berada di tempat, pihak yang baik akan menjalankan perannya sebagai pihak yang baik dan mencoba mendapatkan konsensi.
2.      Lowball/highball. Penego akan melemparkan pancingan yang sangat rendah atau terlalu tinggi (yang ia yakin tidak akan tercapai) demi merubah penawaran pihak lawan.
3.      Bogey. Berpura-pura bahwa masalah yang tidak/ kurang penting bagi mereka adalah isu yang sangat penting.
4.      Nibble. Penego menggunakan permintaan “gigitan” untuk sebuah konsesi kecil proporsional.
5.      Chicken. Di akhir negosiasi mereka secara diam-diam menjalankan kompromi mereka karena tidak ingin kehilangan muka.
6.      Intimidation. Menggunakan alat-alat pemaksa agar pihak lain menyetujui penawaran mereka.
7.      Aggressive Behavior. Menggunakan tindakan agresif untuk memperoleh persetujuan.
1.      Snow Job. Yakni ketika penego dikalahkan oleh pihak lain yang memiliki begitu banyak informasi sementara ia tidak mengetahui mana yang benar atau penting.
Ada beberapa cara dalam merespon taktik ini: (1) mengabaikan mereka; (2) mendiskusikanya untuk menyatakan bahwa kamu mengetahui taktik mereka; (3) merespon dengan kebaikan; (4) berteman dengan partai tersebut sebelum mereka menggunakan taktik tersebut padamu.
Analisis
            Ada beberapa struktur dasar dalam situasi bargaining kompetitif atau distributif dan juga beberapa strategi dan taktik yang digunakan dalam distributive bargaining. Seseorang akan sangat cepat mempelajari poin awal pihak lain dan menemukan poin targetnya langsung melalui interferensi. Biasanya seseorang tidak akan mengetahui poin resistensi pihak lain hingga di akhir negosiasi (mereka seringkali merahasiakannya dengan sangat hati-hati). Semua poin-poin tersebut memang penting, namun poin resistensilah yang paling kritis. Rentang antara area resistensi suatu pihak didefinisikan sebagai bargaining range. Jika bersifat positif, ini mengindikasikan tiap-tiap pihak akan bekerja dalam mendapatkan targetnya sebaik mungkin. Jika sebaliknya, negosiasi yang sukses akan sulit sekali tercapai.
            Jarang sekali sebuah negosiasi hanya berisi satu bagian saja, biasanya terdiri dari serangkaian bagian, yang diartikan sebagai bargaining mix. Setiap bagian dalam bargaining mix dapat memiliki poin pembuka, target, an resistensi. Bargaining mix juga menyediakan kemungkinan untuk menjembatani isu bersama-sama, memperdagangkan antarisu, atau menampilkan sikap konsensi mutual.
            Memeriksa struktur distributive bargaining akan mengungkapkan banyak opsi untuk sebuah negosiasi dalam meraih resolusi yang sukses. Dengan mempelajari sebanyak-banyaknya hl mengenai pihak lain akan memudahkan untuk meraih final settlement sedekat mungkin dengan poin resistensi pihak lawan. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa distributive bargaining pada dasarnya adalah situasi kompetisi. Dan pada akhirnya, kemampuan dalam melakukan distributive bargainig menjadi sangat penting dalam fase klaim di setiap negosiasi.
Sumber
§  -------. Strategy and Tactics of Distributive Bargaining





MEDIASI


Konflik internasional seringkali merupakan subjek dari mediasi pihak ketiga.  Kita tidak mengetahui bagaimana mediasi pada umunya di awal sejarah (rekaman yang paling awal adalah kira-kira 3.500 tahun yang lalu), tapi itupun dipraktikan oleh Romeo dan Juliet dengan efek yang katastropik, dan telah terjadi setidaknya 400 tahunan. Kendati perang dingin telah membawa banyak perubahan dalam politik internasional, ia juga mengurangi insisden dari konflik internasional dan juga tendensitas dari pihak ketiga untuk memediasi konflik-konflik yang menyusahkan.
Konflik disini merupakan isu-isu politik-sekuriti. Tipikalnya, dalam ekonomi internasional atau perselisihan lingkungan, pihak rival tidak berkompetisi dengan paksaan. Konflik dalam pilitik-sekuriti terjadi dalam konteks politik kekuatan yang memiliki efek mayor dalam mediasi internasional. Premis ini menyediakan tiang konseptual dari analisis motif partisipan dalam mediasi, kodisi yang mempengaruhi performa dan peran dari mediator, dan kunci dari mediasi efektif dalam konflik internasional.
Konflik internasional merupakan keduanya dari konflik interstate dan domestic yang diciptakan oleh campur tangan pihak luar.
Mediasi merupakan suatu bentuk intervensi pihak ketiga dalam konflik. Namun berbeda dari bentuk intervensi pihak ketiga dengan penggunaan langsung alat pemaksa dan tidak bertujuan untuk menolong salah satu partisipan untuk menang. Melainkan bertujuan untuk membawa konflik pada suatu kesepakatan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dan konsisten dengan kepentingan pihak ketiga tersebut.
Mediasi adalah sebuah proses politik tanpa adanya komitmen kelanjutan dari partai-partai untuk menerima ide mediator. Dalam poin ini, inilah perbedaannya dengan arbitrasi yang menggunakan prosedur yuridisial dan masalah yang sebelumnya sudh mereka sepakati. Untuk mencapai tujuannya, mediasi harus membuat penerimaan menjadi mungkin bagi para penasihat dalam konflik. Namun mediator seringkali menemui penolakan awal dari pihak-pihak yang berkonflik; maka usaha diplomasi awal haruslah mempersuasi pihak-pihak dengan nilai dari pelayanan mereka sebelum proses mediasi dimulai.
Negara-negara menggunakan mediasi sebagai instrument kebijakan luar negeri. Intervensi mereka sebagai mediator terlegitimasi oleh tujuan dari reduksi konflik yang secera tipikal mereka nyatakan. Hasrat untuk menciptakan perdamaian sebenarnya diikuti oleh motif lainnya dalam kontek politik kekuatan.
Mediasi negara seakan mencari bentuk dimana akan meningkatkan prospek stabilitas, menunda kesempatan rival untuk melakukan intervensi. Keduanya merupakan suatu bentuk tujuan defensive dan offensive yang dapat didapatkan melalui proses mediasi  (Udalov 1995 da Zartman 1995). Mediator bertindak defensive ketika konflik kelanjutan antar partisipan mengancam kepentingan mediator. Self-interest kedua motif dalam melaksanakan mediasi adalah ofensif, harapan untuk memperpanjang dan meningkatkan influensi. Dalam kasus ini, solusi dari konflik tidak memiliki kepentingan secara langsung dbagi mediator dan ia tak lebih hanya kendaraan untuk mengembangkan relasi antarkedua belah pihak.
          Lawan dalam setiap konflik menghadapi dua pertanyaan apakah ia akan menerima mediasi dan jika iya, maka bagaimana agar mediasi dapat diterima (Maundi dkk 2006). Pihak-pihak menerima intervensi karena mereka, sebagaimana para mediator, berharap mediasi akan bekerja sesuai dengan kepentingan mereka.
            Ketika mediator termotivasi oleh kepentingan diri sendiri, mereka tidak akan lagi megintervensi secara otomatis, tapi hanya saat mereka percaya bahwa sebuah konflik mengancam kepentingan mereka atau ketika mereka menemuka sebuah kesempatan bagi mereka untuk meningkatkan kepentingan mereka.
            Mediator menggunakan tiga model untuk mengatur kepentingan semua pihak yang berada dalam konflik, yakni: komunikasi, formulasi dan manipulasi. Ketika mediasi terjadi tanpa adanya keinginan satu atau bahkan kedua belah pihak untuk menang dari lainnya, mediator dapat menempatkan dirinya sebagai komunikator untuk menjembati kepentingan msing-masing pihak. Namun ketika terjadi perselisihan antarpihak yang mengikuti mediasi, mediator diharapkan mengambil pilihan kedua sebagai formulator untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi. Sementara pilihan ketiga hanya akan diambil ketika pihak-pihak  tersebut saling berselisih dalam taraf yang ekstrem. Mediator sebagai mediator akan menggunakan segala cara agar terbentuknya suatu persetujuan dengan paksaan dan tekanan.
Analisis
            Banyak kepentingan dan sedikit kontrol merupakan kompleksitas dalam pihak ketiga dalam sebuah mediasi, jauh dari yang kita bayangkan. Pihak penasihat dan mediator potensial masing-masing memiliki perhitungan kepetingan yang jauh lebih mempengaruhi daripada persetujuan sederhana dari perselisihan. Perhitungan mereka meliputi hubungan antarpihak yang berkonflik dan pihak ketiga dan biaya dan keuntungan dari kedua konflik dan konsiliasi. Kekuatan berasal dari kepentingan itu sendiri dan kemampuan pihak ketiga untuk bermain persepsi kebutuhan, diatas segala kebutuhan untuk sebuah solusi.
            Mediasi bertindak sebagai katalis negosiasi. Ia memfasilitasi persetujuan pertikaian yang seharusnya dapat terselesaikan oleh mereka sendiri, jika merasa konflik mereka sebagai hal yang penting. Mediasi menjadi penting ketika konflik dua kali lebih dominan: merupakan penyedia elemen pertikaian dan mencegah pihak-pihak dari mencari dan menemukan jalan keluar. Kendatipun berhasil, mediasi hanya akan memotong beberapa layer, menyediakan alat bagi semua pihak untuk hidup bersama kendati saling berselisih, namun tidak menyediakan rekonsiliasi yang mendalam atau membatalkan penyebab-penyebab konflik

Sumber:
Watson, Adam. 1982. Diplomacy: The Dialogue Between States. London: Eye Methuen.
Zartman, I. William. 2008. Negotiation and Coflict Management: Essays on theory and practice. New York: Routledge

TEORI NEGOSASI: TEORI PERMAINAN DAN PERILAKU


Di jurnal sebelumnya kita membicarakan apa saja yang seharusnya penego lakukan sebelum pembukaan negosiasi. Strategi dan perencanaan yang efektif adalah pengawal yang paling krusial dalam mencapai tujuan negosiasi. Dengan seting perencanaan dan target yang efektif, sebagian besar penego mampu meraih tujuan mereka, dan tanpanya, maka pencapaian akan terjadi lebih daripada kesempatan ketimbang usaha dari penego itu sendiri. Maka pada jurnal kali ini kita akan mempelajari teori negosiasi yang terdiri dari teori permainan dan teori perilaku.
Awali dengan “Tidak”: bagaimana keputusan mengarahkan negosiasi
        Dalam suatu negosiasi, keputusan merupakan 100 persen emosional. Riset psikologi telah mamastikannya. Dalam negosiasi dan, bahkan, dalam pembuatan keputusan keduanya diawali dengan emosi. Emosi bersifat “tidak terkendali”. Mereka berada dalam akar dari semua keputusan awal, tak terprediksi, bahkan seringkali bersifat destruktif, tetapi emosi bukanlah hasil final. Tugas seorang negosiatorlah untuk melihat mereka dengan jelas sebagai “apa sebenarnya emosi, bagaimana bekerja bersama emosi, dan bukannya melawan”, kemudian mengalahkannya dengan menciptakan keputusan yang berharga.
            Dalam jurnal “Start with No” penulis sangat menyarankan kata “tidak” sebagai awal terbaik dalam menyatakan”ya” sebab pada realitanya, semua negosiasi memang benar-benar diawali dengan kata “tidak”, bukan kata “mungkin” apalagi “ya”. Mengapa demikian? Karena kata “tidak” merupakan keputusan yang nyata yang akan mempengaruhi pihak lain mengenai alasan apa yang menyebabkan kita mengatakan “tidak”. Responsibilitas dalam mengeluarkan keputusan yang jelas akan membantu lawan untuk fokus dalm masalah yang sesungguhnya dalam negosiasi. Lawan harus mengambil responsibilitas dari “tidak” maka kemudian mereka akan benar-benar memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Faktanya, rata-rata invitation bagi pihak lain yang berkata “tidak” akan berubah secara dinamis dalam sebuah negosiasi melalui jalan yang benefisial. Sementara itu jawaban alternatif, yaitu “mungkin” dan “ya”, sama sekali bukan keputusan yang sesungguhnya. Kata-kata itu tidak akan berbuat apapun dalam menghentikan ketidakjelasan dan juga aliran emosi. Mengapa pula demikian?
            Jika seseorang mengatakan “mungkin” maka kedua pihak akan kesulitan untuk mendapatkan respon atau informasi dari pihak lain, karena kata “mungkin” menyiratkan sesuatu yang tidak pasti. Ketika lawanmu berkata “mungkin” maka emosimu akan tidak menentu. Apakah yang dimaksud oleh “mungkin” itu “kita hampir mencapai ya”? Atau hanya berusaha menjalankan trik terakhir untuk mencapai kesepakatan? Ataukah itu berarti “tidak, penawaran ini tidak akan mungkin”? Atau mungkin itu berarti bahwa sebenarnya pihak lawan sendiri bahkan tidak mengetahui apa yang ia inginkan? Kata “mungkin” benar-benar bukanlah sebuah keputusan. Penulis mendefinisikan “maybe” sebagai kiss of the death dari sebuah negosiasi sebab jika tidak mampu menghadapi “mungkin”, segera tinggalkan karena akan membuang-buang waktu (khususnya saat sedang bernegosiasi dengan orang Jepang yang terbiasa menggunakan kata “mungkin” untuk membuat lengah negosiator yang tak terlatih).
            Terkadang negosiator pihak lawan terlalu terkondisi oleh etos getting to yes yang mana ia akan memulai dengan “ya”. Namun kata “ya’ di awal negosiasi tidak ada bedanya dengan kata “mungkin”. Kata “ya” bagi pihak lawan tidak benar-benar berarti “ya” sebab pada dasarnya negosiasi diadakan karena adanya “no” dari salah satu pihak yang saling terdependensi. Yang lebih penting lagi, seringkali setiap lawan berkata “ya”, dengan mudah kita akan hilang kendali dan menunjukkan kelemahan kita. Kemudian tak lama kemudian lawan kita pasti akan memunculkan kata “jika/ tapi/ bagaimanapun/ saat/ kata-kata pengeculian berbahaya semacamnya” di belakang kata “ya” yang akan membuat kita kehilangan fokus dan menjadi rentan terhadap konsiliasi yang tidak menguntungkan. Pihak lawan akan dengan seketika mengambil kendali. Menawarkan “ya” yang terlalu dini tak pelak adalah trik macan yang berusaha menjebak kita ke dalam kandangnya.
            Contoh klasiknya adalah ketiga sebuah perusahaan multinasional yang menjanjikan suatu proyek khusus dengan tiga perusahaan lain yang lebih kecil. Maka ketiga perusahaan tersebut akan saling bersaing mendapatkan proyek tersebut dengan menurunkan harga mereka terus menerus. Hingga suatu ketika ada suatu perusahaan (misalnya bernama Perusahaan Maju Mundur) yang mana berani berkata tidak dan keluar dari persaingan reduksi tersebut. Maka itu artinya Maju Mundur yang telah mengundang perusahaan multinasional untuk berkata “tidak” sebagai balasan “tidak”-nya. Sementara itu perusahaan multinasional itu akan mengalami sepasang isu. Ia beresiko kehilangan partner kerja mereka yang paling valuable (bisa saja itu Maju Mundur) dan terdapat resiko dua perusahaan sisanya mengetahui trik tersebut dan mengikuti langkah Maju Mundur untuk mundur dari negosiasi. Maka selanjutnya akan sangat mudah ditebak ketika perusahaan multinasional tersebut menemukan informasi mengenai Maju Mundur pada kata “tidak”. Dan pada akhirnya, tetap Maju Mundurlah sebagai pihak pertama yang mengatakan “tidak” yang akan mendapatkan proyek tersebut.
            Itulah yang penulis sebut dengan the power of “no”. Namun apa yang akan terjadi jika perusahaan tersebut berkata lebih awal pada Maju Mundur, “Leluasalah dalam berkata tidak, jatuhkan kami pada titik tertentu”? Maka kedua belah pihak tidak akan lagi menerka-nerka satu sama lain. Masing-masing akan mengetahui bagaimana pihak lainnya memandang negosiasi tersebut hingga keduanya akan mengurus masalah-maslah yang sesungguhnya. Waktu, uang, dan sumber daya pun akan dapat diperhemat.
            Penggunaan “mungkin” adalah budaya dari Jepang. Dalam suatu ketika seorang klien baru berbasis Anerika terjebak pada distribution deal yang menyebalkan dengan pihak Jepang the Giant. Mereka menghabiskan begitu banyak sumber daya demi negosiasi tersebut tanpa menghasilkan sesuatu yang berarti. Dan ketika banyak pemain lama negosiasi menyerah pada kondisi tersebut, delapan bulan kemudian dari pertama kali gagasan negosiasi ulang merebak, tim Amerika membawa sebuah bentuk persetujuan baru bahwa mereka akan langsung berkata “tidak” jika mereka rasa mereka harus melakukannya. Dan ketika diimplementasikan, undangan untuk berkata “tidak” telah mengkristal pada pihak Jepang dan mengalihkan perhatian mereka.
            Gunakan “tidak” dalam setiap kesempatan dalam sebuah negosiasi. Jangan takut padanya. Jangan menganggapnya sebagai penolakan personal sebab kamu tidak dalam satu-satunya orang dalm kondisi yang “membutuhkan”. Ketika kau benar-benar mampu keluar dari ketakutanmu menyakiti orang lain, berhenti menyimpan perlawanan, maka kamu akan menjadi negosiator yang lebih baik dari sebelumnya. Ketika kamu memahami  kejujuran dan kekuatan dari kata “tidak” maka kau akan mengambil jalan yang sangat jauh dari negosiasi berbasis emosional dan negosiasi berbasis keputusan. Dalam jangka panjang “tidak” merupakan jawaban yang paling aman. Karena tidak akan menjatuhkan hubungan bisnis dan justru membangunnya. Pada dasarnya win-win yang sesungguhnya adalah ketika mengatakan dan mengundang dan mendengar kata “tidak”
            Negosiasi yang efektif merupakan pembuatan keputusan yang efektif, datar, dan sederhana, dan fondasi pembuatan keputusan yang efektif tersebut merupakan sebuah misi yang valid dan juga tujuan yang mengarahkan negosiasi.

Analisis
Jika “mungkin” itu worthless dan “ya’ itu artinya bahaya, maka hanya tersisa “tidak” sebagai satu-satunya keputusan yang sesungguhnya. Seperti yang dikatakan penulis pada tulisannya yang berjudul “Start with No”, kata “tidak” akan membuat pihak lawan menyeberang kepada kita dalam kondisi rasional. Penjelasan akan terjadi kedua pihak akan memiliki masalah untuk diperbincangkan. Dengan demikian maka setiap orang akan mengetahui bagaimana pihak lawan memandang negosiasi dan bekerja dalam menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Waktu, uang, dan sumber daya akan dapat digunakan dengan lebih hemat. Itulah kunci ide dalam jurnal Start with “No”: “tidak” membawamu menyeberangi masalah emosional dan juga masalah yang tidak terlalu penting pada masalah yang esensial.


Sumber:
Watson, Adam. 1982. Diplomacy: The Dialogue Between States. London: Eye Methuen.
-----, Negotiating: Ch 3 Start with No & 4 Success Come from Foundation: develop your mission and purpose

  

NEGOSIASI: STRATEGI DAN PERENCANAAN


Di jurnal sebelumnya kita membicarakan mengenai situasi bargaining distributive (dapat pula disebut kompetitif, win-lose, bargaining). Dalam situasi bargaining distributive tujuan dari suatu pihak biasanya mendasar dan konflik langsung dengan tujuan-tujuan pihak lainnya. Maka dalam jurnal minggu ini kita akan membicarakan apa saja yang seharusnya penego lakukan sebelum pembukaan negosiasi. Strategi dan perencanaan yang efektif adalah pengawal yang paling krusial dalam mencapai tujuan negosiasi. Dengan seting perencanaan dan target yang efektif, sebagian besar penego mampu meraih tujuan mereka, dan tanpanya, maka pencapaian akan terjadi lebih daripada kesempatan ketimbang usaha dari penego itu sendiri. Diskusi mengenai strategi dan perencanaan akan dimulai dengan mengekplorasi broad process pengembangan strategi, dimulai dengan mendefinisikan tujuan dan sasaran.
Tujuan – Fokus yang Menjalankan Strategi Negosiasi
        Langkah pertama dalam mengembangkan dan melaksanakan sebuah strategi negosiasi adalah dengan menentukan tujuan yang mana penego harus mengantisipasi tujuan apa yang ingin mereka capai dalam negosiasi dan fokus pada bagaimana agar tujuan tersebut tercapai.  Terdapat dua efek dari tujuan dalam memilih strategi, efek langsung dan tak langsung.
            Terdapat empat aspek bagaimana tujuan mempengaruhi negosiasi: pertama, harapan bukanlah tujuan sebab tujuan lebih spesifik dengan target terfokus pada sesuatu yang secara realitas dapat tercapai; kedua, tujuan seringkali berhubungan dengan tujuan pihak lainnya yang membutuhkan manajemen untuk menyelesaikan konflik; ketiga, terdapat batasan pada kemampuan mencapai tujuan yang menyebabkan penego harus mencari jalan keluar alternatif  atau menghentikan negosiasi; keempat, tujuan yang efektif adalah yang bersifat konkrit, spesifik dan dapat diukur sebab ini mempengaruhi komunikasi yang kita lakukan untuk membuat pihak lain memahami tujuan kita, memahami apa yang diinginkan pihak lain, serta dalam menentukan apakah sebuah penawaran telah memenuhi kepuasan tujuan kita. 
Efek tidak langsung dari sebuah tujuan terhadap pilihan strategi adalah pandangan yang mencoba memandang mengenai dampak yang akan terjadi dalam jangka panjang. Dalam mengembangkan dan menyusun strategi kita tidak diperbolehkan mengabaikan hubungan sekarang atau masa depan dengan pihak lain hanya untuk mencapai hasil jangka pendek yang hanya bersifat substantif. Misalnya adalah bagaimana kita menegosiasikan sesuatu dengan tetap menjunjung kejujuran demi menjaga reputasi dan mengembangkan strategi tujuan dalam jangka yang lebih jauh dan juga outcome yang jauh lebih memuaskan.
Strategi – Keseluruhan Rencana untuk Mencapai Suatu Tujuan
Setelah  penego selesai dengan pengartikulasian tujuan, mereka akan bergerak pada elemen kedua dalam rantai negosiasi, yakni menyeleksi dan mengembangkan sebuah strategi. Sebab strategi adalah mengenai keseluruhan rencana untuk mencapai sebuah tujuan dalam negosiasi dan tindakan berkelanjutan yang akan menjurus pada pencapaian keselurahan tujuan. Ada beberapa macam strategi, diantaranya strategi situasional alternatif, strategi tak terikat (penghindaran), dan strategi ikatan aktif (kompetisi, kolaborasi, dan akomodasi).
            Terdapat orietasi dasar bagaimana penego menyelesaikan suatu konflik. Bagan di bawah adalah model dari dual conern yang menawarkan alternatif strategi berdasarkan keutamaan yang relatif dan juga prioritas dari dua dimensi persetujuan yang diharapkan. 
                                                            Apakah outcome substantif dipentingkan?
                                                                        Ya                                           Tidak
Kolaborasi
Akomodasi
Kompetisi
Penghindaran

Apakah outcome       Ya
relasi              
dipentingkan?            Tidak
            Strategi tidak terikat (penghindaran) mengindikasikan adanya suatu alasan dan kondisi yang menyebabkan seorang penego lebih baik memilih utuk tidak bernegosiasi, yakni ketika proses negosiasi membawa pada outcome yang benar-benar buruk sehingga penego lebih memilih untuk menghetikan negosiasi kendati utuk mencapai outcome-nya kemudian ia harus kehilangan biaya dalam jumlah tertentu atau seorang penego yang memiliki alternatif (BATNA) yang sangat kuat dalam bernegosiasi. 
Dalam strategi ikatan aktif akan terjadi beberapa tipe strategi yakni kompetisi, kolaborasi, akomodasi, dan penghindaran. Kolaborasi (yang bersifat win-win solution, integrative dan negosiasi) merupakan kebalikan dari kompetisi yang bersifat win-lose solution, bargaining , dan distributive. Sementara itu akomodasi semacam strategi kalah-menang dalam kompetisi hanya saja terdapat suatu keseimbangan outcome. Yang dimaksud adalah suatu ketika pihak I menang sementara pihak II mengalami kekalahan tetapi di lain kesempatan pihak II akan menang sementara pihak I akan mengalami kekalahan. Pilihan ini diambil ketika yang menjadi outcome utama adalah hubungan relasi jangka panjang.
            Strategi berbeda dengan taktik. Hubungan antara keduanya adalah: taktik merupakan subordinat dari strateegi; mereka terstruktur, langsung, dan dikendalikan oleh konsiderasi strategis. Juga perlu diingat bahwa dalam menggunakan strategi tersebut kita harus menyadari bahwa sebagian besar strategi negosiasi merefleksikan keragaman tujuan, intensitas, dan tekanan situasional yang menyebabkan strategi “murni” seperti yang telah dijelaskan di atas menjadi sangat sulit untuk diikuti.
Memahami Jalannya Negosiasi: Stages dan Phases
            Leonard Greenhalgh mengekspresikan sebuah model area negosiasi yang sangat relevan pada negosiasi integrative. Terdapat tujuh langkah menuju proses negosiasi ideal. Pertama adalah tahap persiapan yang didalamnya terdapat aktivitas dalam menentukan apa yang penting, tujuan, serta memikirkan bagaimana caranya menjalin kerja sama dengan pihak lain. Tahap kedua adalah relationship building, yakni mengetahui pihak lain, memahami bagaimana kamu dan pihak lainnya dalam persamaan dan perbedaan, dan membangun komitmen melalui pencapaian seting keuntungan mutual outcome. Ketiga adalah pengumpulan informasi di mana kamu harus mengetahui mengenai isu, kebutuhan pihak lain, rentang kemungkinan persetujuan, dan mempelajari resiko apa saja yang harus ditanggung jika gagal meraih persetujuan dengan pihak lain. Fase keempat adalah saatnya penego menggunakan informasi yang ia miliki untuk meraih outcome dan perjanjian yang diinginkan. Pada fase selanjutnya terdapat penawaran yang dilakukan penego dalam opening offer. Kemudian dilanjutkan pada fase keenam yaitu menutup perjanjian dan pada fase yang terakhir adalah pengimplementasian persetujuan dengan cara menentukan apa saja yang harus dilakukan tepat setelah persetujuan tercapai.

Mengimplementasikan Strategi: Proses Perencanaan
            Perencanaan yang efektif membutuhkan kerja keras dalam  semua poin-poin yang disebutkan di bawah ini:
  1. Menetapkan masalah yang harus diselesaikan pada negosiasi mendatang.
  2. Mengumpulkan isu dan menetapkan bargaining mix
  3. Menetapkan dan memahami kepentingan apa yang terletak dalam isu tersebut.
  4. Menetapkan batasan (yakni titik di mana kita akan berhenti) dan alternatif (perjanjian lain yang dapat kita lakukan jika perjanjian ini mengalami kegagalan).
  5. Menetapkan target diri sendiri dan membuka penawaran pada awal diskusi.
  6. Memperkirakan konstituen dan kontek sosial di mana negosiasi terjadi. Dengan begitu kita akan memahami apa yang pihak lain inginkan dari kita.
  7. Menganalisa pihak lain (tujuan, isu, strategi, kepentingan, batasan, alternatif, target, pembukaan dan otoritas pihak lain).
  8. Merencanakan presentasi masalah dan pertahanan, yakni perencanaan yang meliputi proses di mana kita akan hadir dan “menjual” ide-ide pada pihak lain (atau bias saja terhadap pihak sendiri).
  9. Menetapkan protocol – kapan dan dimana negosiasi akan terjadi, siapa yang hadir, agenda apa saja, dan lain sebagainya
Analisis
            Perencanaan merupakan aktivitas yang paling penting dalam negosiasi. Seperti yang telah kita ketahui, penego seringkali mengalami kegagalan dalam melakukan perencanaan karena beragam alasan. Sebab perencanaan sistematis bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah diperkirakan, seringkali penego berada dalam suatu tekanan yang menyebabkan mereka harus bertindak dengan sangat cepat dan ketika gagal mereka harus menerima resiko berupa biaya yang harus dikeluarkan untuk mencapai suatu outcome tanpa melalui negosiasi. Ada juga situasi dan kodisi dimana seorang negosiator harus memilih untuk tidak bernegosiasi untuk menghindari pencapaian yang sangat mengerikan.
            Perencanaan yang eektif akan membawa negosiasi pada suatu persetujuan kendati pada faktanya perencanaan ini akan mengalami modifikasi dan pembaharuan saat proses negosiasi berlangsung sesuai dengan perubahan lingkungan negosiasi. Seorang penego yang sangat hati-hati merncanakan akan berusaha untuk megimplementasikan perencanaan dengan sangat baik (poin 1-9 di atas). Ketika penego dapat menentukan dan mengevaluasi kesembilan faktor tersebut, mereka akan mengetahui apa yang ia inginkan dan memiliki pandangan yang jelas mengenai arah bagaimana proses negosiasi akan berlangsung. Pemahaman arah dan kepercayaan diri yang dimunculkan darinya merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi hasil dari sebuah negosiasi.
Sumber:
Watson, Adam. 1982. Diplomacy: The Dialogue Between States. London: Eye Methuen.
---------. Negotiation: Strategy and Planning


Negosiasi


Keamanan internasional dapat tercapai melalui manajemen konflik, dan manajemen konflik tersebut  terpenuhi melalui seluruhnya oleh negosiasi. Bukan perangkat militer yang mahal lah yang mampu menjamin kemananan suatu negara dan penduduknya, melainkan diplomasi yang diasosiasikan dengan penggunaan dan ketidakpenggunaannya (perangkat militer). (Zartman, 2008)
Pengertian
            Adam Watson (1982) mengkarakteristikkan hubungan diplomasi sebagai negosiasi-negosiasi antarkesatuan politik yang mana keduanya diketahui  bersifat independen. Itu artinya sesuai dengan pernyataan G.R. Berridge bahwa kegiatan dalam hubungan internasional lebih kepada negosiasi ketimbang paksaaan, propaganda, atau permasalahan hukum atau melalui berbagai alat-alat perdamaian yang nantinya secara langsung dan tak langsung mengarah dalam kegiatan negosiasi.
            Dalam jurnal yang berjudul The Nature of Negotiation juga dijelaskan bahwa terdapat perbedaan antara negosiasi dan bargaining. Bargaining mendeskripsikan iklim kompetitif, situasi win-lose, flea market, dan semacamnya. Sementara dalam term negosiasi lebih kepada situasi win-win.
Macam-Macam Negosiasi
            Secara umum, berdasarkan berlangsungnya proses negosiasi ada dua macam negosiasi:
1.      Negosiasi kooperatif merupakan jenis negosiasi dimana konflik dapat diminimalisir dan seluruh gagasan yang ada difokuskan pada tujuan untuk mencapai solusi yang terbaik bagi semuanya. Sifat dari negosiasi ini anatar lain: membuka informasi seluas-luasnya, mempertimbangkan sejumlah alternatif, fleksibel, membantu pihak lainnya dalam menyampaikan gagasan, dan keputusan bersifat win-win solution.
2.      Negosiasi kompetitif merupakan negosiasi di mana terjadi suasana tidak ramah sebab masing-masing pihak berusaha mendapatkan tawaran yang lebih baik dari lainnya. Oleh karenanya dalam situasi negosiasi tersebut diperlukan seni dalam menyatakan penawaran terbuka serta keterampilan dalam mendiginkan situasi konflik serta bersikap tegas dalam menjaga posisi pengendali.
Namun dalam prakteknya, hampir semua negosiasi yang terjadi merupakan kombinasi dari dua macam negosiasi di atas.
Kondisi Alamiah Negosiasi
            Negosiasi terjadi dengan beberapa alasan, diantaranya: (1) untuk membuat persetujuan mengenai bagaimana berbagai atau menentukan sumber daya yang terbatas, seperti tanah, properti, atau waktu; (2) untuk menciptakan ‘sesuatu yang baru’ yang mana suatu partai tidak mampu menciptakannya seorang diri; (3) untuk menyelesaikan masalah atau pertikaian antarpartai.
            Terkadang orang gagal bernegosiasi karena mereka tidak menyadari bahwa ia berada di lingkungan negosiasi. Mereka akan kehilangan kesempatan untuk meraih tujuan, kebutuhan atau penyelesaian masalah mereka selembut yang mereka inginkan. Oleh karena itu perlu kita ketahui beberapa karakteristik situasi negosiasi pada umumnya:
1.      Terdapat dua atau lebih partai (bisa berupa individu, grup, atau organisasi) sebab negosiasi dimengerti sebagai sebuah proses antarindividu, grup, atau organisasi.
2.      Terdapat konflik kepentingan dan hasrat antara dua atau lebih partai (keinganan satu partai bukan kepentingan yang sama pentingnya bagi partai lainnya) dan mereka harus mencari jalan untuk memecahkannya.
3.      Partai-partai tersebut bernegosiasi karena pilihan. Mereka berpendapat bahwa mereka akan mendapatkan persetujuan yang lebih baik melalui negosiasi ketimbang dengan mudahnya menerima apa yang pihak lain berikan padanya secara sukarela.
4.      Saat bernegosiasi semua mengharapkan proses give and take sebagaimana fundamen dari definisi negosiasi itu sendiri.
5.      Masing-masing partai lebih memilih jalan negosiasi dan mencari persetujuan ketimbang pertarungan terbuka.
6.      Negosiasi yang baik adalah yang meliputi manajemen resolusi tangible dan intangible. Tangible merupakan resolusi berdasarkan harga atau bentuk dari persetujuan itu sendiri. Sedangkan resolusi intangible adalah resolusi yang meliputi faktor-faktor yang terletak pada motivasi phisologikal yang secara langsung atau tak langsung mempengaruhi perilaku partai selama jalannya negosiasi.


Kendati sebagian besar manajemen konflik menemukan resolusinya melalui negosiasi, terdapat beberapa situasi partai menhindari adanya proses negosiasi (J.V. Levinson, Smith, dan Wilson, 1999):
1.      When you’d lose the farm. Kondisi yang mengancam partai untuk kehilangan segalanya.
2.      When you’re sold out. Ketika mengalami suatu kesulitan dalam bernegosiasi.
3.      When the demands are unethical. Ketika pihak lawan meminta dukungan pada sesuatu yang ilegal, tidak etis, dan tidak bermoral. Ini demi menjaga reputasi.
4.      When you don’t have time. Ketika seorang penegosiasi mengalami tekanan waktu ia akan bertidak jauh lebih tidak bijaksana ketimbang biasana.
5.      When they act in bad faith. Menghentikan negosiasi ketika lawan menunjukkan etiket buruk dan tidak dapat dipercaya.
6.      When waiting would improve your position. Ketika menunggu memberi kemungkinan untuk meningkatkan posisi.
7.      When you’re not prepared. Saat tidak siap bernegosiasi akan lebih baik jika telah siap.
Peran Negosiasi
      Negosiasi memiliki peranan dalam tiga aksi: diawal, ketika konflik mulai menjadi isu atau masalah, yakni untuk menghindarinya menjadi lebig buruk; kedua, ketika langkah awal gagal negosiasi menawarkan solusi dan resolusi; dan ketiga, saat krisis (ketika langkah satu dan dua gagal) negosiasi akan membawa eskalasi (dinamika konflik, suatu usaha untuk menang dalam sebuah kontes yang mana berada dalam posisi yang tidak menyenangkan) dan violence menuju akhir. Di sini negosiasi akan menentukan bentuk outcome bersama apakah suatu partai memenangkan atau semua partai lainnya berhenti dalam usahanya untuk menang. Maka dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah proses mengkombinasikan posisi-posisi divergen/ berkonflik melalui komunikasi ke dalam sebuah join decision. (Zartman, 2008)
Analisis
            Saya setuju dengan pernyataan Adam Watson (1982) yang mengkarakteristikkan hubungan diplomasi sebagai negosiasi-negosiasi antarkesatuan politik yang mana keduanya diketahui  bersifat independen. Karena pada dasarnya kegiatan dalam hubungan internasional lebih kepada negosiasi ketimbang paksaaan, propaganda, atau permasalahan hukum dan bagaimanapun juga, penggunaan berbagai alat-alat untuk perdamaian nantinya juga, secara langsung atau tidak langsung, tetap akan mengarah dalam kegiatan negosiasi itu sendiri. Kemudian melalui negosiasi akan ditentukan bentuk outcome bersama apakah suatu partai memenangkan atau semua partai lainnya berhenti dalam usahanya untuk menang. Maka dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah proses mengkombinasikan posisi-posisi divergen/ berkonflik melalui komunikasi ke dalam sebuah join decision. (Zartman, 2008)
Sumber:
Watson, Adam. 1982. Diplomacy: The Dialogue Between States. London: Eye Methuen. P.33
Zartman, I. William. 2008. Negotiation and Conflict Management: Essays on theory and practice. New York: Routledge Handbook Publishing
---------. The Nature of Negotiation